Rabu, 17 Juli 2013

Meng-optimalkan Pembelajaran Bahasa Inggris


Alhamdulillah, segala Puja dan Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Ilahi Rabbi, yang mana berkat Hidayah dan Ma’unahnya, kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan rampung.
Yang kedua.Shalawat serta Salamullah semoga tetap tercurah limpahkan atas junjungan Nabi besar kita, yakni Nabi Muhammad SAW.Yang mana berkat jerih payah beliau kita bisa menikmati manisnya ilmu.
Alhmadulillah, Dalam makalah ini, dengan tema "Meng-optimalkan Pembelajaran Bahasa Inggris", kami berusaha untuk sedikit memberikan gambaran akan pengertian strategi pembelajaran?, tekhnik belajar? dan juga penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan tekhnik pembelajaran ini. Dan juga semuanya kami bahas secara tuntas dalam makalah ini.
Tidak ada gading yang tak retak, mungkin seperti itulah kami menggambarkan makalah kami yang jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, Kami sebagai penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari siapapun, agar dalam penulisan karya tulis selanjutnya, kami bisa lebih baik lagi.





Penulis




1.3. Tujuan. 2
1.4. Manfaat 2


Pembelajaran bahasa Iggris sebagai bahasa asing (learning English as a foreign language) di Indonesia telah berkembang seiring perkembangan pemikiran di bidang ini. Para ahli melakukan berbagai penelitian tentang bagaimana orang mengembangkan kemampuan bahasa untuk selanjutnya menganalisisi temuan-temuannya untuk dibawa ke dalam sebuah proses pembelajaran bahasa di kelas-kelas formal. Kecendrungan terakhir yang melihat pembelajaran bahasa sebagai sebuah proses yang bisa membantu siswa mendapatkan kemampuan berkomunikasi telah berimplikasi pada keharusan dilakukannya perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di sekolah-sekolah formal.
Seting kelas formal di mana kebanyakan orang asing (foreign learners)  berupaya mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya, dalam batas-batas tertentu bisa didesain sedemikian rupa agar bisa membantu mereka mengembangkan kemampuan bahasanya secara optimal. Disadari bahwa seting kelas formal itu juga memiliki berbagai keterbatasan. Oleh sebab itu yang bisa dilakukan adalah bagaimana meminimalisasi keterbatasan itu dan memanfaatkan potensi yang ada agar upaya mengembangkan kemampuan bahasa itu bisa optimal.  Artikel ini mencoba menganalisis teori-teori tentang bagaimana kemampuan bahasa itu bisa dikembangkan dan bagaiamana proses pembelajaran di dalam kelas formal bisa menjadi tempat yang kondusif bagi upaya mengembangkan kemampuan bahasa tersebut secara optimal.

Adapun rumusan yang kami jadikan permasalahan adalah sebagai berikut :
A.    Bagaimana cara mengoptimalkan pembelajaran bahasa inggris di kelas ?
B.     Apakah pengoptimalan tersebut sudah sesuai dengan kemampuan para peserta didik ?

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
A.    Untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Jurusan IPS Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas FKIP Semester II Universitas Jember.

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
A.    Memberikan pengetahuan baru bagi kami sebagai penulis dan juga bagi teman-teman pendidikan sejarah tentang cara meng-optimalkan pembelajaran Bahasa Inggris
B.     Dengan adanya makalah ini diharapkan bisa membantu para calon guru untuk mengetahui cara pengoptimalan pembelajaran Bahasa Inggris di kelas.



2.1. Pemerolehan dan Pembelajarn Bahasa
Dua istilah tehnis language ‘aquisition’ (pemerolehan bahasa) dan language ‘learning’ (pembelajaran bahasa),  menurut Purwo (1990: 85) pertama kali diperkenalkan oleh Stephen Krashen. Istilah ini muncul dalam pembahasan Krashen tentang teori pemerolehan bahasa kedua yang kemudian dikenal dengan “model monitor’ (the monitor model), Teori ini menurut Ellis (1985: 261) menjadi salah satu teori pemerolehan bahasa kedua yang paling komprehensif dan menonjol dalam penelitian pemerolehan bahasa kedua. 
 Menurut Krashen (1982: 10) ada dua cara yang berbeda, dan yang masing-masing mandiri, bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan berbahsa. Yang pertama disebut “pemerolehan” (acquisition), yakni proses seperti yang dialami oleh anak sewaktu mengembangkan bahasa pertamanya. Pemerolehan bahasa terjadi secara bawah sadar. Selama proses pemerolehan ini si pemeroleh lazimnya tidak sadar bahwa ia sedang memperoleh bahasa; ia hanya sadar bahwa ia sedang menggunakan bahasa untuk keperluan komunikasi. Oleh karena itu, hasil yang dicapai melalui proses ini juga bawah sadar. Si pemeroleh pada umumnya tidak secara sadar mengetahui kaidah-kaidah bahasa yang telah ia peroleh. Ia hanya dapat “merasa” bahwa suatu kalimat itu benar atau salah, tetapi ia tidak akan tahu kaidah apa yang dilanggar pada kalimat yang ia rasakan sebagai salah.
Cara yang kedua ialah dengan “pembelajaran” (learning). Istilah ini dimaksudkan untuk mengacu pada pengetahuan secara sadar mengenai bahasa, pengetahuan akan kaidah-kaidah bahasa. Si pembelajar tahu mengenai kaidah-kaidah itu, menguasai tata bahasanya, dan dapat berbicara mengenai hal itu. Pengetahuan formal mengenai bahasa atau proses belajar secara ekspilist, dapat dikaitkan dengan istilah ”pembelajaran”.
 Sebagian ahli pengajaran bahasa berpandangan bahwa pemerolehan bahasa terjadi pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa hanya dapat terjadi pembelajaran bahasa. Krashen (1982) mencoba membuktikan bahwa orang dewasa juga dapat “memetik” bahasa, sebagaimana anak-anak. Kemampuan pemerolehan bahasa tidak lenyap pada masa masa puber. Namun, sebagaimana diakui oleh Krashen, ini tidak berarti bahwa orang dewasa pasti akan mampu mencapai tingkat “seperti penutur asli” di dalam berbicara bahasa asing. Ia menambahkan bahwa meskipun pemerolehan pada orang dewasa tidak dapat  disamakan dengan yang terdapat pada anak, potensinya sangat kuat. Tentang perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam melakukan pemerolehan bahasa juga dikemukakan oleh Vroman (1989: 43) bahwa pembelajaran bahasa asing pada orang dewasa lebih menyerupai pembelajaran pada orang dewasa pada umumnya, dibandingkan dengan perkembangan bahasa pada anak-anak.

2.2. Mengoptimalkan Proses Pembelajarn Bahasa
            Apa yang penting dalam proses pembelajaran bahasa adalah faktor-faktor yang bisa membangun kondisi spesifik yang seharusnya ada pada situasi pembelajaran bahasa. Dari berbagai faktor (determinants) yang mempengaruhi pembelajaran bahasa –konteks sosial, karakter pembelajar, seting bahasa, dan pengajaran formal—menurut Stern (11987) adalah pengajaran formal yang paling siap dimodifikasi dan disesuaikan pada lingkungan sosial dan bahasa dan faktor-faktor pemebelajar secara individual. Hal ini lah yang membuat pengajaran formal secara khusus dianggap penting. Untuk mengoptimalkan proses pembelajarn bahasa Inggris, menurut Purwo (1990) harus mempertimabangkan setidaknya faktor bahan pelajaran, faktor kesalahan dan faktor sikap.

2.2.1. Faktor Bahan Pelajaran
Kedua hal berikut menjadi perhatian utama: masalah pengurutan bahan (dari yang “mudah” ke yang “sukar”) dan masalah “isi” bahan itu sendiri. Apa pegangan yang dipilih untuk pengurutan bahan pelajaran tersebut? Yang cukup meluas dipakai sebagai pegangan ialah hasil penelitian liguistik mengenai komponen-komponen bahasa. Penelitian linguistik dapat menjabarkan seluk-beluk bahasa dari komponen yang sederhana sampai pada komponen yang rumit. Atas dasar ini lalu disusun bahan pelajaran dari yang mudah ke yang sulit, meskipun belum tentu bahwa kriteria pijakannya sama. Kriteria kerumitan dari segi linguistik belum tentu merupakan kriteria yang dipegang oleh siswa di dalam belajar bahasa
Isi yang bagaimanakah yang dapat dimanfaatkan oleh siswa sebagai lingkungan yang sesuai untuk belajar bahasa? Dari pengamatan terhadap proses belajar bahasa pada anak-anak dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahasa dipelajari di dalam konteks lingkungan tempat anak “beroperasi” dan dari lingkungan tempat si anak itu belajar hal lain dari bahasa itu sendiri. Lingkungan itu bisa dalam bentuk konteks bermain kelereng dan bermain congklak, konteks bertengkar dengan teman karena memperebutkan sebuah barang mainan. Konteks seperti inilah yang mendesak anak untuk menggunakan bahasa, supaya ia dapat betul-betul berkomunikasi di tengah-tengah lingkungannya. Di dalam konteks (yang mengasyikkan) seperti itu tidak terbesit di dalam benak si anak bahwa ia sedang belajar bahasa. Hal ini juga digambarkan oleh Dulay, Burt dan Krashen (19882) dengan apa yang disebut dengan “here and now” principle, di mana anak mendapatkan contoh-contoh konkrit komunkasi tentang apa yang mereka lakukan. (lihat  “ketersediaan referensi” dalam uraian tentang Hakikat Lingkungan Bahasa)
Lingkungan seperti ini bisa memacu tumbuh suburnya daya kreatif di dalam proses belajar bahasa, yaitu yang penuh keleluasaan, yang terbebas dari cengkraman ketakutan (misalnya, ketakutan ditegur karena menggunakan bahasa yang “salah”). Di dalam lingkungan itu si anak dipajankan secara luas dengan bahasa natural yang betul-betul hidup dalam interaksi sosial. Mengajar bahasa berarti menyediakan untuk siswa sebagian atau semua lingkungan dari tindakan berbahasa.  Lingkungan belajar bahasa seperti itu menurut Purwo dapat diciptakan oleh guru-guru di kelas. Tinggal saja dipacu kesediaan “menurunkan” penyajian bentuk-bentuk bahasa dan “menaikkan” penyajian “isi” untuk sebagian besar dari kurikulum sekolah. Hanya saja untuk itu dituntut kesediaan menjelajahi dan menggali bahan-bahan yang tidak dirancang untuk tujuan pengajaran bahasa tetapi yang dapat disesuaikan untuk mendapatkan hasil optimal di dalam proses belajar bahasa. Sebaliknya,  perlu juga dilakukan upaya menyesuaikan bahan pelajaran bahasa (“lama”) yang sudah terlanjur tersedia (banyak) agar lebih sepadan dengan hakikat tindak komunikasi.
Kegiatan yang dapat dimanfaatkan untuk “isi” pelajaran bahasa itu, antara lain, kegiatan menguraikan hasil eksperimen fisika (seperti lazimnya disuarakan oleh guru pada pelajaran itu), tetapi uraian ini sepenuhnya dilakukan oleh siswa. Selain topik mengenai ilmu pengetahuan, dapat pula diambil topik menyangkut olah raga, olah seni, kesehatan. Pokonya dicari berbagai bentuk kegiatan yang dapat memancing dan mendorong siswa untuk mengutarakan buah pikirannya ke dalam bahasa, dan sekaligus menajamkan daya pemahamannya secara lisan. Dengan demikian siswa akan terlibat secara langsung pada kegiatan nyata itu, dan tanpa disadari mereka sebenarnya belajar bahasa. Perhatian utama tercurah pada kegiatan itu sendiri bukan pada bahasa. Siswa yang lebih tinggi kemampuannya (di dalam berbahasa) akan menjadi model, sedangkan siswa yang lebih rendah kemampuannya berpeluang pula untuk berbahasa tanpa merasakan bahwa dirinya lebih rendah kemampuan berbahasanya. Di dalam kegiatan seperti ini kecenderungan mengoreksi kesalahan berbahasa ditahan sekuat mungkin dan keenderungan berkomunikasi dilepas seleluasa mungkin. Proses penguasaan bahasa secara kreatif dirangsang oleh latihan-latihan yang kontekstual dan oleh kesempatan menggunakan bahasa secara natural.

2.2.2. Faktor Kesalahan
Praktek pengajaran bahasa selama ini  (karena pengaruh pola pemikiran kaum behavioris) berpegang teguh pada pandangan bahwa kesalahan siswa harus diberantas (Ellis, 1980). Dengan tak mengenal lelah guru membabat setiap kesalahan siswa yang dilihatnya. Dengan rajinnya guru menyela kegiatan siswa yang sedang tengah-tengahnya mengutarakan diri dengan bahasa, karena ada kesalahan yang dirasa perlu dibenahi. Tindakan menyela (interupsi) seperti ini kadang kala dirasakan “menyebalkan” oleh kedua belah pihak, baik oleh guru maupun oleh siswa. Akan tetapi karena dilatari anggapan bahawa inilah cara yang harus ditempuh maka tindakan menyela itu tetap berjalan terus.
Adakah akibat positif dari tindakan menyela dengan dalih memperbaiki kesalahan itu bagi siswa di dalam proses belajar bahasa? Yang jelas tidak sedikit guru yang merasa frustrasi karena siswa tetap saja membuat kesalahan yang sama; padahal guru sudah berkali-kali menunjukkan dan membetulkan kesalahan, bahkan sampai menjelaskan secara panjang lebar mengapa struktur tertentu dikatakan salah. Namun kesalahan siswa, yang jelas-jelas menumbuahkan “sakit hati” baik bagi guru maupun bagi siswa itu, tetap saja menjadi bahan incaran dan pelototan guru di kelas (sampai menguras peluhnya) dari tahun ke tahun.
Penelitian mengenai pengajaran bahasa menjelang akhir tahun 70-an mengungkapkan bahwa kesalahan siswa memang banyak yang kebal dan tidak tanggap terhadap pembetulan. Pembetulan kesalahan menulis pada mahasiswa perguruan tinggi pun sesungguhnya tidak mempengaruhi produksi kesalahan. Bahkan teknik pembetulan yang khusus dibuat secara lebih sistematis pun belum merupakan ramuan obat jitu bagi “pembasmian’ kesalahan. Diperkirakan bahwa pembetulan secara selektiflah yang akan lebih berdaya guna. Tidak setiap kesalahan harus diberi perhatian. Perlu dipilih yang benar-benar sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dalam memeroses bahasa karena mereka mempunyai cara sendiri (yang sistematis) untuk menata proses penguasaan mereka. Untuk itu perlu diketahui  tentang tahap-tahap perkembangan siswa di dalam belajar bahasa. Penelitian mengenai ini masih terus berlangsung. Yang jelas tahap-tahap yang dimaksudkan itu bukanlah pengurutan dari struktur yang sederhana ke yang kompleks, sebagaimna yang dihasilkan oleh penelitian linguistik (struktural)
Pola pemikiran yang  sedang berkembang sekarang (mengenai sikap menghadapi kesalahan siswa), menurut Purwo (1990) sudah meninggalkan pandangan yang dilatarbelakangi oleh kaum behavioris (tahun 1950-an). Kesalahan siswa bukanlah sesuatu yang harus ditanggapi dengan tindakan guru yang langsung “tembak di tempat”. Kesalahan adalah sesuatu yang memang tak terelakkan pada proses penguasan bahasa. Dengan demikian guru tidak perlu mengembangkan “profesi” atau “keahlian” di dalam mencari-cari kemudian membetulkan kesalahan siswa. Pembetulan kesalahan justru dapat merangsang timbulnya reaksi “defensif” dari siswa. Yang lebih parah lagi, siswa lalu terdorong untuk berusaha menghindari kesalahan, menghindari konstruksi yang sukar-sukar, lebih memusatkan perhatian pada bentuk daripada isi. Hal ini akan menghambat daya kreatif mereka di dalam berbahasa untuk berkomunikasi.
Kesalahan siswa bukan hanya merupakan sesuatu yang takterelakkan dalam proses belajar tetapi justru merupakan bukti kekreatifan dan kedinamisan siswa di dalam mengembangkan kemampuan berbahsa. Berikut contoh tahapan perkembangan penguasaan bahasa pada anak-anak yang berbahasa ibu bahasa Inggris. (Prwo, 1990)

 TAHAP PERTAMA
What’s this?                                             -- What those are
What’s that
Where’s that?

TAHAP KEDUA
What are those                                         -- I don’t know what are those

TAHAP KETIGA
I don’t know what those are                    -- I don’t know what’s this

TAHAP KEEMPAT
I  don’t know what this is

Pada tahap pertama si anak sudah dapat menghasilkan bentuk tunggal (What’s this) secara benar, tetapi bentuk jamaknya belum (What’s those are seharusnya What are those). Baru pada tahap kedua si anak dapt menghasilkan bentuk jamak yang benar, meskipun masih melakukan kesalahan sewaktu menempatkan bentuk jamak itu ke dalam kalimat taklangsung (I don’t know what are those seharusnya I don’t know what those are). Untuk menghasilkan bentuk tunggal itu si anak cukup menirukan saja, tetapi untuk bentuk jamak ia harus melalui tahap “berbuat salah” dulu baru kemudian “membetulkan diri”. Pada tahap ketiga anak dapat menempatkan bentuk jamak di dalam kalimat langsung. Akan tetapi justru pada saat ini, pada saat dia sudah dapat menguasai kaidahnya menyangkut bentuk jamak, ia belum dapat menerapkannya pada bentuk tunggal. Padahal, bentuk tunggal sudah ia kuasai pada tahap pertama, sebelum ia menguasai bentuk jamak. Bentuk yang dikuasai melalui peniruan itu, yaitu yang diperoleh tanpa melalui proses kreatif (maksudnya proses melalui berbuat salah terlebih dahulu), justru berkembnag lebih lambat.
Dari data ini tersingkap bahwa anak tidak sekedar menirukan saja secara pasif (seperti burung beo) apa yang keluar dari mulut orang dewasa. Kekreatifan dan kedinamisan mereka tampak, misalnya pada kegesitannya setiap kali menguji dan memperbaiki sendiri kesalahan mereka. Mereka memiliki daya memperbaiki diri sendiri tanpa desakan langsung dari luar. Mereka memiliki cara dan “tata bahasa” sendiri untuk menghasilkan bentuk yang benar. Oleh karena itu kesalahan di dalam proses penguasaan bahasa harus dianggap sebagai hal yang wajar karena apabila sudah tiba saatnya mereka akan siap memperbaikinya sendiri. Guru biasanya enderung untuk memperbaiki kesalahan mereka pada saat yang salah. Banyak penelitian kini berlangsung dengan sikap memandang kesalahan sebagai cerminan dari daya kreatif siswa. Kesalahan siswa dari segi pandangan ini mendapat julukan “development error

2.2.3. Faktor Sikap (afektif)
             Faktor ini anatara lain menyangkut hubungan siswa dengan guru. Kalau dilihat kembali ke belakang, ke masa-masa sekolah dulu, menurut Purwo (1990), yang lebih diingat justru guru dan bukan bahan pelajaran yang diberikannya. Orang lebih ingat perangainya, caranya mengajar, semangatnya, kemampuannya membangkitkan gairah atau keingintahuan siswa mengenai bahan yang diajarkan. Sebagai guru boleh jadi seseorang lupa bahwa dulu sewaktu menjadi siswa mereka pernah merasa takut, entah karena menghadapi guru sebagai figur “penguasa” (penentu baik buruknya nilai, atau “vonis” akhir), entah karena menghadapi kenyataan sering dipermalukan di hadapan teman-teman karena kesalahan yang dibuat di kelas. Apabila ada seorang siswa yang tidak mampu mengerjakan sesuatu dengan betul, belum tentu bahwa hal itu disebabkan oleh ketakmampuannya. Ada kemungkinan bahwa ada semacam mekanisme “penolakan” di dalam dirinya (secara bawah sadar) terhadap figur guru yang “berkuasa” itu. Faktor afektif seperti itu, menurut hasil penelitian bidang pengajaran bahasa, ada pengaruhnya bagi keberhasilan proses belajar bahasa.


Untuk mengoptimalkan proses pembelajaran bahasa diperlukan pemahaman yang baik tentang teori-teori yang berhubungan dengan bagaimana kemampuan bahasa bisa dikembangkan. Dalam konteks mengembangkan kemampuan bahasa Inggris, maka teori-teori tentang pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua (asing) secara lebih spesifik seharusnya juga difahami dengan baik. Selanjutnya bagaimana mempertimbangkan teori-teori itu dalam aplikasinya di dalam kelas bahasa Inggris formal mungkin tidak selalu bisa dianggap sederhana, karena banyak faktor-faktor lain yang juga tidak bisa diabaikan dalam mengaplikasikan teori-teori tersebut. Kegagalan satu institusi dalam membantu siswa mengembangkan kemampuan bahasa Inggris, untuk kasus di Indonesia khususnya, ternyata lebih disebabkan ketidaksiapan lemabaga tersebut dalam menyediakan faktor-faktor pendukung berlangusungnya proses pembelajaran.

Adapun saran-saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut :
A.    Pelajarilah berbagai macam metode dan strategi pembelajaran, agar bisa mengoptimalkan belajar dan pembelajaran di kelas.
B.     Terutama pembelajaran mengunakan strategi pendekatan yang dilakukan untuk pembelajaran mata pelajaran bahasa inggris di kelas.









1.      Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Menyibak Kurikulum 1984, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990)
2.      Rod Ellis, Understanding Second Language Acquisition,  (Oxford: Oxford University Press, 1985)
3.      Stephen Krashen, Principle and Practice  in Second Language Aquisition, (Oxford: Pergamon Press. 1982)
4.      Robert Bley Vroman, “What is the logical problems of language learning?” Linguistic Perspective on Second Language Acquisition. ed. Susan M Gass dan Jacquelyn Schachter, , (New York: Cambridge University Press 1989)
5.      H.H. Stern, Fundamental Concepts of Language Teaching (Oxford: Oxford Unversity Press, 1987)
6.      Heidi  Dulay, Marina Burt dan Stephen Krashen, Language Two (New York: Oxford University Press, 1982)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar