Alhamdulillah, segala Puja dan
Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Ilahi Rabbi, yang mana berkat Hidayah
dan Ma’unahnya, kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan
rampung.
Yang kedua.Shalawat serta
Salamullah semoga tetap tercurah limpahkan atas junjungan Nabi besar kita,
yakni Nabi Muhammad SAW.Yang mana berkat jerih payah beliau kita bisa menikmati
manisnya ilmu.
Alhmadulillah, Dalam makalah ini, dengan tema "Meng-optimalkan
Pembelajaran Bahasa Inggris", kami berusaha untuk sedikit memberikan
gambaran akan pengertian strategi pembelajaran?, tekhnik belajar? dan juga
penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan tekhnik pembelajaran ini. Dan juga
semuanya kami bahas secara tuntas dalam makalah ini.
Tidak ada gading yang tak retak, mungkin seperti itulah kami
menggambarkan makalah kami yang jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, Kami
sebagai penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari
siapapun, agar dalam penulisan karya tulis selanjutnya, kami bisa lebih baik
lagi.
Penulis
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
Pembelajaran bahasa Iggris sebagai bahasa asing (learning English as a foreign language)
di Indonesia telah berkembang seiring perkembangan pemikiran di bidang ini.
Para ahli melakukan berbagai penelitian tentang bagaimana orang mengembangkan
kemampuan bahasa untuk selanjutnya menganalisisi temuan-temuannya untuk dibawa
ke dalam sebuah proses pembelajaran bahasa di kelas-kelas formal. Kecendrungan
terakhir yang melihat pembelajaran bahasa sebagai sebuah proses yang bisa
membantu siswa mendapatkan kemampuan berkomunikasi telah berimplikasi pada
keharusan dilakukannya perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pembelajaran
bahasa Inggris sebagai bahasa asing di sekolah-sekolah formal.
Seting kelas formal di mana kebanyakan orang asing (foreign learners) berupaya mengembangkan kemampuan bahasa
Inggrisnya, dalam batas-batas tertentu bisa didesain sedemikian rupa agar bisa
membantu mereka mengembangkan kemampuan bahasanya secara optimal. Disadari
bahwa seting kelas formal itu juga memiliki berbagai keterbatasan. Oleh sebab
itu yang bisa dilakukan adalah bagaimana meminimalisasi keterbatasan itu dan
memanfaatkan potensi yang ada agar upaya mengembangkan kemampuan bahasa itu
bisa optimal. Artikel ini mencoba
menganalisis teori-teori tentang bagaimana kemampuan bahasa itu bisa
dikembangkan dan bagaiamana proses pembelajaran di dalam kelas formal bisa
menjadi tempat yang kondusif bagi upaya mengembangkan kemampuan bahasa tersebut
secara optimal.
Adapun
rumusan yang kami jadikan permasalahan adalah sebagai berikut :
A.
Bagaimana cara
mengoptimalkan pembelajaran bahasa inggris di kelas ?
B.
Apakah
pengoptimalan tersebut sudah sesuai dengan kemampuan para peserta didik ?
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
A.
Untuk memenuhi
tugas UAS mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Jurusan IPS Program Studi
Pendidikan Sejarah Fakultas FKIP Semester II Universitas Jember.
Adapun manfaat dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
A.
Memberikan pengetahuan
baru bagi kami sebagai penulis dan juga bagi teman-teman pendidikan sejarah
tentang cara meng-optimalkan pembelajaran Bahasa Inggris
B.
Dengan adanya
makalah ini diharapkan bisa membantu para calon guru untuk mengetahui cara
pengoptimalan pembelajaran Bahasa Inggris di kelas.
2.1. Pemerolehan dan Pembelajarn Bahasa
Dua istilah tehnis language ‘aquisition’
(pemerolehan bahasa) dan language ‘learning’ (pembelajaran bahasa), menurut Purwo (1990: 85) pertama kali
diperkenalkan oleh Stephen Krashen. Istilah ini muncul dalam pembahasan Krashen
tentang teori pemerolehan bahasa kedua yang kemudian dikenal dengan “model
monitor’ (the monitor model), Teori
ini menurut Ellis (1985: 261) menjadi salah satu teori pemerolehan bahasa kedua
yang paling komprehensif dan menonjol dalam penelitian pemerolehan bahasa
kedua.
Menurut Krashen
(1982: 10) ada dua cara yang berbeda, dan yang masing-masing mandiri, bagi manusia
untuk mengembangkan kemampuan berbahsa. Yang pertama disebut “pemerolehan” (acquisition), yakni proses seperti yang
dialami oleh anak sewaktu mengembangkan bahasa pertamanya. Pemerolehan bahasa
terjadi secara bawah sadar. Selama proses pemerolehan ini si pemeroleh lazimnya
tidak sadar bahwa ia sedang memperoleh bahasa; ia hanya sadar bahwa ia sedang
menggunakan bahasa untuk keperluan komunikasi. Oleh karena itu, hasil yang
dicapai melalui proses ini juga bawah sadar. Si pemeroleh pada umumnya tidak secara
sadar mengetahui kaidah-kaidah bahasa yang telah ia peroleh. Ia hanya dapat
“merasa” bahwa suatu kalimat itu benar atau salah, tetapi ia tidak akan tahu
kaidah apa yang dilanggar pada kalimat yang ia rasakan sebagai salah.
Cara yang kedua ialah dengan “pembelajaran” (learning). Istilah ini dimaksudkan untuk
mengacu pada pengetahuan secara sadar mengenai bahasa, pengetahuan akan
kaidah-kaidah bahasa. Si pembelajar tahu mengenai kaidah-kaidah itu, menguasai
tata bahasanya, dan dapat berbicara mengenai hal itu. Pengetahuan formal
mengenai bahasa atau proses belajar secara ekspilist, dapat dikaitkan dengan
istilah ”pembelajaran”.
Sebagian ahli
pengajaran bahasa berpandangan bahwa pemerolehan bahasa terjadi pada anak-anak,
sedangkan pada orang dewasa hanya dapat terjadi pembelajaran bahasa. Krashen
(1982) mencoba membuktikan bahwa orang dewasa juga dapat “memetik” bahasa,
sebagaimana anak-anak. Kemampuan pemerolehan bahasa tidak lenyap pada masa masa
puber. Namun, sebagaimana diakui oleh Krashen, ini tidak berarti bahwa orang
dewasa pasti akan mampu mencapai tingkat “seperti penutur asli” di dalam
berbicara bahasa asing. Ia menambahkan bahwa meskipun pemerolehan pada orang
dewasa tidak dapat disamakan dengan yang
terdapat pada anak, potensinya sangat kuat. Tentang perbedaan antara anak-anak
dan orang dewasa dalam melakukan pemerolehan bahasa juga dikemukakan oleh
Vroman (1989: 43) bahwa pembelajaran bahasa asing pada orang dewasa lebih
menyerupai pembelajaran pada orang dewasa pada umumnya, dibandingkan dengan
perkembangan bahasa pada anak-anak.
2.2. Mengoptimalkan Proses Pembelajarn Bahasa
Apa yang penting dalam
proses pembelajaran bahasa adalah faktor-faktor yang bisa membangun kondisi
spesifik yang seharusnya ada pada situasi pembelajaran bahasa. Dari berbagai
faktor (determinants) yang
mempengaruhi pembelajaran bahasa –konteks sosial, karakter pembelajar, seting
bahasa, dan pengajaran formal—menurut Stern (11987) adalah pengajaran formal
yang paling siap dimodifikasi dan disesuaikan pada lingkungan sosial dan bahasa
dan faktor-faktor pemebelajar secara individual. Hal ini lah yang membuat
pengajaran formal secara khusus dianggap penting. Untuk mengoptimalkan proses
pembelajarn bahasa Inggris, menurut Purwo (1990) harus mempertimabangkan
setidaknya faktor bahan pelajaran, faktor kesalahan dan faktor sikap.
2.2.1. Faktor Bahan Pelajaran
Kedua hal berikut menjadi perhatian utama: masalah
pengurutan bahan (dari yang “mudah” ke yang “sukar”) dan masalah “isi” bahan
itu sendiri. Apa pegangan yang dipilih untuk pengurutan bahan pelajaran
tersebut? Yang cukup meluas dipakai sebagai pegangan ialah hasil penelitian
liguistik mengenai komponen-komponen bahasa. Penelitian linguistik dapat
menjabarkan seluk-beluk bahasa dari komponen yang sederhana sampai pada komponen
yang rumit. Atas dasar ini lalu disusun bahan pelajaran dari yang mudah ke yang
sulit, meskipun belum tentu bahwa kriteria pijakannya sama. Kriteria kerumitan
dari segi linguistik belum tentu merupakan kriteria yang dipegang oleh siswa di
dalam belajar bahasa
Isi yang bagaimanakah yang dapat dimanfaatkan oleh siswa
sebagai lingkungan yang sesuai untuk belajar bahasa? Dari pengamatan terhadap
proses belajar bahasa pada anak-anak dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahasa dipelajari di dalam konteks lingkungan tempat anak “beroperasi” dan dari
lingkungan tempat si anak itu belajar hal lain dari bahasa itu sendiri.
Lingkungan itu bisa dalam bentuk konteks bermain kelereng dan bermain congklak,
konteks bertengkar dengan teman karena memperebutkan sebuah barang mainan.
Konteks seperti inilah yang mendesak anak untuk menggunakan bahasa, supaya ia
dapat betul-betul berkomunikasi di tengah-tengah lingkungannya. Di dalam
konteks (yang mengasyikkan) seperti itu tidak terbesit di dalam benak si anak
bahwa ia sedang belajar bahasa. Hal ini juga digambarkan oleh Dulay, Burt dan
Krashen (19882) dengan apa yang disebut dengan “here and now” principle, di mana anak mendapatkan contoh-contoh
konkrit komunkasi tentang apa yang mereka lakukan. (lihat “ketersediaan referensi” dalam uraian tentang
Hakikat Lingkungan Bahasa)
Lingkungan seperti ini bisa memacu tumbuh suburnya daya
kreatif di dalam proses belajar bahasa, yaitu yang penuh keleluasaan, yang
terbebas dari cengkraman ketakutan (misalnya, ketakutan ditegur karena
menggunakan bahasa yang “salah”). Di dalam lingkungan itu si anak dipajankan
secara luas dengan bahasa natural yang betul-betul hidup dalam interaksi
sosial. Mengajar bahasa berarti menyediakan untuk siswa sebagian atau semua
lingkungan dari tindakan berbahasa.
Lingkungan belajar bahasa seperti itu menurut Purwo dapat diciptakan
oleh guru-guru di kelas. Tinggal saja dipacu kesediaan “menurunkan” penyajian
bentuk-bentuk bahasa dan “menaikkan” penyajian “isi” untuk sebagian besar dari
kurikulum sekolah. Hanya saja untuk itu dituntut kesediaan menjelajahi dan
menggali bahan-bahan yang tidak dirancang untuk tujuan pengajaran bahasa tetapi
yang dapat disesuaikan untuk mendapatkan hasil optimal di dalam proses belajar
bahasa. Sebaliknya, perlu juga dilakukan
upaya menyesuaikan bahan pelajaran bahasa (“lama”) yang sudah terlanjur
tersedia (banyak) agar lebih sepadan dengan hakikat tindak komunikasi.
Kegiatan yang dapat dimanfaatkan untuk “isi” pelajaran
bahasa itu, antara lain, kegiatan menguraikan hasil eksperimen fisika (seperti
lazimnya disuarakan oleh guru pada pelajaran itu), tetapi uraian ini sepenuhnya
dilakukan oleh siswa. Selain topik mengenai ilmu pengetahuan, dapat pula
diambil topik menyangkut olah raga, olah seni, kesehatan. Pokonya dicari
berbagai bentuk kegiatan yang dapat memancing dan mendorong siswa untuk
mengutarakan buah pikirannya ke dalam bahasa, dan sekaligus menajamkan daya
pemahamannya secara lisan. Dengan demikian siswa akan terlibat secara langsung
pada kegiatan nyata itu, dan tanpa disadari mereka sebenarnya belajar bahasa.
Perhatian utama tercurah pada kegiatan itu sendiri bukan pada bahasa. Siswa
yang lebih tinggi kemampuannya (di dalam berbahasa) akan menjadi model,
sedangkan siswa yang lebih rendah kemampuannya berpeluang pula untuk berbahasa
tanpa merasakan bahwa dirinya lebih rendah kemampuan berbahasanya. Di dalam
kegiatan seperti ini kecenderungan mengoreksi kesalahan berbahasa ditahan
sekuat mungkin dan keenderungan berkomunikasi dilepas seleluasa mungkin. Proses
penguasaan bahasa secara kreatif dirangsang oleh latihan-latihan yang
kontekstual dan oleh kesempatan menggunakan bahasa secara natural.
2.2.2. Faktor Kesalahan
Praktek pengajaran bahasa selama ini (karena pengaruh pola pemikiran kaum
behavioris) berpegang teguh pada pandangan bahwa kesalahan siswa harus
diberantas (Ellis, 1980). Dengan tak mengenal lelah guru membabat setiap
kesalahan siswa yang dilihatnya. Dengan rajinnya guru menyela kegiatan siswa
yang sedang tengah-tengahnya mengutarakan diri dengan bahasa, karena ada
kesalahan yang dirasa perlu dibenahi. Tindakan menyela (interupsi) seperti ini
kadang kala dirasakan “menyebalkan” oleh kedua belah pihak, baik oleh guru
maupun oleh siswa. Akan tetapi karena dilatari anggapan bahawa inilah cara yang
harus ditempuh maka tindakan menyela itu tetap berjalan terus.
Adakah akibat positif dari tindakan menyela dengan dalih
memperbaiki kesalahan itu bagi siswa di dalam proses belajar bahasa? Yang jelas
tidak sedikit guru yang merasa frustrasi karena siswa tetap saja membuat kesalahan
yang sama; padahal guru sudah berkali-kali menunjukkan dan membetulkan
kesalahan, bahkan sampai menjelaskan secara panjang lebar mengapa struktur
tertentu dikatakan salah. Namun kesalahan siswa, yang jelas-jelas menumbuahkan
“sakit hati” baik bagi guru maupun bagi siswa itu, tetap saja menjadi bahan
incaran dan pelototan guru di kelas (sampai menguras peluhnya) dari tahun ke
tahun.
Penelitian mengenai pengajaran bahasa menjelang akhir
tahun 70-an mengungkapkan bahwa kesalahan siswa memang banyak yang kebal dan
tidak tanggap terhadap pembetulan. Pembetulan kesalahan menulis pada mahasiswa
perguruan tinggi pun sesungguhnya tidak mempengaruhi produksi kesalahan. Bahkan
teknik pembetulan yang khusus dibuat secara lebih sistematis pun belum
merupakan ramuan obat jitu bagi “pembasmian’ kesalahan. Diperkirakan bahwa
pembetulan secara selektiflah yang akan lebih berdaya guna. Tidak setiap
kesalahan harus diberi perhatian. Perlu dipilih yang benar-benar sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa dalam memeroses bahasa karena mereka mempunyai cara
sendiri (yang sistematis) untuk menata proses penguasaan mereka. Untuk itu
perlu diketahui tentang tahap-tahap
perkembangan siswa di dalam belajar bahasa. Penelitian mengenai ini masih terus
berlangsung. Yang jelas tahap-tahap yang dimaksudkan itu bukanlah pengurutan
dari struktur yang sederhana ke yang kompleks, sebagaimna yang dihasilkan oleh
penelitian linguistik (struktural)
Pola pemikiran yang
sedang berkembang sekarang (mengenai sikap menghadapi kesalahan siswa),
menurut Purwo (1990) sudah meninggalkan pandangan yang dilatarbelakangi oleh
kaum behavioris (tahun 1950-an). Kesalahan siswa bukanlah sesuatu yang harus
ditanggapi dengan tindakan guru yang langsung “tembak di tempat”. Kesalahan
adalah sesuatu yang memang tak terelakkan pada proses penguasan bahasa. Dengan
demikian guru tidak perlu mengembangkan “profesi” atau “keahlian” di dalam
mencari-cari kemudian membetulkan kesalahan siswa. Pembetulan kesalahan justru
dapat merangsang timbulnya reaksi “defensif” dari siswa. Yang lebih parah lagi,
siswa lalu terdorong untuk berusaha menghindari kesalahan, menghindari
konstruksi yang sukar-sukar, lebih memusatkan perhatian pada bentuk daripada
isi. Hal ini akan menghambat daya kreatif mereka di dalam berbahasa untuk berkomunikasi.
Kesalahan siswa bukan hanya merupakan sesuatu yang
takterelakkan dalam proses belajar tetapi justru merupakan bukti kekreatifan
dan kedinamisan siswa di dalam mengembangkan kemampuan berbahsa. Berikut contoh
tahapan perkembangan penguasaan bahasa pada anak-anak yang berbahasa ibu bahasa
Inggris. (Prwo, 1990)
TAHAP PERTAMA
What’s this? --
What those are
What’s that
Where’s that?
TAHAP KEDUA
What are those -- I
don’t know what are those
TAHAP KETIGA
I don’t know what those are -- I don’t know what’s this
TAHAP KEEMPAT
I
don’t know what this is
Pada tahap pertama si anak sudah dapat menghasilkan
bentuk tunggal (What’s this) secara
benar, tetapi bentuk jamaknya belum (What’s
those are seharusnya What are those). Baru pada tahap kedua si anak dapt
menghasilkan bentuk jamak yang benar, meskipun masih melakukan kesalahan
sewaktu menempatkan bentuk jamak itu ke dalam kalimat taklangsung (I don’t know what are those seharusnya I don’t
know what those are). Untuk menghasilkan bentuk tunggal itu si anak cukup
menirukan saja, tetapi untuk bentuk jamak ia harus melalui tahap “berbuat
salah” dulu baru kemudian “membetulkan diri”. Pada tahap ketiga anak dapat
menempatkan bentuk jamak di dalam kalimat langsung. Akan tetapi justru pada
saat ini, pada saat dia sudah dapat menguasai kaidahnya menyangkut bentuk
jamak, ia belum dapat menerapkannya pada bentuk tunggal. Padahal, bentuk
tunggal sudah ia kuasai pada tahap pertama, sebelum ia menguasai bentuk jamak.
Bentuk yang dikuasai melalui peniruan itu, yaitu yang diperoleh tanpa melalui
proses kreatif (maksudnya proses melalui berbuat salah terlebih dahulu), justru
berkembnag lebih lambat.
Dari data ini tersingkap bahwa anak tidak sekedar
menirukan saja secara pasif (seperti burung beo) apa yang keluar dari mulut
orang dewasa. Kekreatifan dan kedinamisan mereka tampak, misalnya pada
kegesitannya setiap kali menguji dan memperbaiki sendiri kesalahan mereka. Mereka
memiliki daya memperbaiki diri sendiri tanpa desakan langsung dari luar. Mereka
memiliki cara dan “tata bahasa” sendiri untuk menghasilkan bentuk yang benar.
Oleh karena itu kesalahan di dalam proses penguasaan bahasa harus dianggap
sebagai hal yang wajar karena apabila sudah tiba saatnya mereka akan siap
memperbaikinya sendiri. Guru biasanya enderung untuk memperbaiki kesalahan
mereka pada saat yang salah. Banyak penelitian kini berlangsung dengan sikap
memandang kesalahan sebagai cerminan dari daya kreatif siswa. Kesalahan siswa
dari segi pandangan ini mendapat julukan “development
error”
2.2.3. Faktor Sikap (afektif)
Faktor ini anatara lain menyangkut hubungan
siswa dengan guru. Kalau dilihat kembali ke belakang, ke masa-masa sekolah
dulu, menurut Purwo (1990), yang lebih diingat justru guru dan bukan bahan
pelajaran yang diberikannya. Orang lebih ingat perangainya, caranya mengajar,
semangatnya, kemampuannya membangkitkan gairah atau keingintahuan siswa
mengenai bahan yang diajarkan. Sebagai guru boleh jadi seseorang lupa bahwa
dulu sewaktu menjadi siswa mereka pernah merasa takut, entah karena menghadapi
guru sebagai figur “penguasa” (penentu baik buruknya nilai, atau “vonis”
akhir), entah karena menghadapi kenyataan sering dipermalukan di hadapan
teman-teman karena kesalahan yang dibuat di kelas. Apabila ada seorang siswa
yang tidak mampu mengerjakan sesuatu dengan betul, belum tentu bahwa hal itu
disebabkan oleh ketakmampuannya. Ada kemungkinan bahwa ada semacam mekanisme
“penolakan” di dalam dirinya (secara bawah sadar) terhadap figur guru yang
“berkuasa” itu. Faktor afektif seperti itu, menurut hasil penelitian bidang
pengajaran bahasa, ada pengaruhnya bagi keberhasilan proses belajar bahasa.
Untuk mengoptimalkan proses pembelajaran bahasa
diperlukan pemahaman yang baik tentang teori-teori yang berhubungan dengan
bagaimana kemampuan bahasa bisa dikembangkan. Dalam konteks mengembangkan
kemampuan bahasa Inggris, maka teori-teori tentang pemerolehan dan pembelajaran
bahasa kedua (asing) secara lebih spesifik seharusnya juga difahami dengan
baik. Selanjutnya bagaimana mempertimbangkan teori-teori itu dalam aplikasinya
di dalam kelas bahasa Inggris formal mungkin tidak selalu bisa dianggap
sederhana, karena banyak faktor-faktor lain yang juga tidak bisa diabaikan
dalam mengaplikasikan teori-teori tersebut. Kegagalan satu institusi dalam
membantu siswa mengembangkan kemampuan bahasa Inggris, untuk kasus di Indonesia
khususnya, ternyata lebih disebabkan ketidaksiapan lemabaga tersebut dalam
menyediakan faktor-faktor pendukung berlangusungnya proses pembelajaran.
Adapun
saran-saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut :
A.
Pelajarilah
berbagai macam metode dan strategi pembelajaran, agar bisa mengoptimalkan belajar
dan pembelajaran di kelas.
B.
Terutama
pembelajaran mengunakan strategi pendekatan yang dilakukan untuk pembelajaran
mata pelajaran bahasa inggris di kelas.
1.
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Menyibak Kurikulum 1984, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990)
2.
Rod Ellis, Understanding
Second Language Acquisition, (Oxford:
Oxford University Press, 1985)
3.
Stephen Krashen, Principle
and Practice in Second Language
Aquisition, (Oxford: Pergamon Press. 1982)
4.
Robert Bley Vroman, “What is the logical problems of
language learning?” Linguistic
Perspective on Second Language Acquisition. ed. Susan M Gass dan Jacquelyn
Schachter, , (New York: Cambridge University Press 1989)
5.
H.H. Stern, Fundamental
Concepts of Language Teaching
(Oxford: Oxford Unversity Press, 1987)
6.
Heidi Dulay,
Marina Burt dan Stephen Krashen, Language Two (New York: Oxford University Press, 1982)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar