Puja
dan Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT,yang mana berkat Hidayah, dan
Maunahnya kami bia menyelesaikan makalah ini dengan rampung.
Yang
kedua, shalawat serta salamullah semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang mana berkat jerih payah beliau kita bias menikmai indahnya
hidup dengan adanya Dinul Islam.
Dalam
pnulisan makalah kali ini, kami mempunyai kesempatan untuk mengangkat tema “Perang Paderi”, yang mana dengan tema
kali ini, kami berusaha untuk menggali lebih dalam lagi akan ilmu pengetahuan
yang masih belum kami ketahui sebelumnya, terutama masalah perang paderi.
Dalam
makalah ini, ada beberapa pembahasan, yaitu mengenai sebab-sebab peperangan, detik-detik
peperangan, dan akibat peperangan.
Tak
ada gading yang tak retak. Mungkin seperti itulah kami menggambarkan makalah
kami. Dalam penulisan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna, maka dari
itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif, agar pada
penulisan makalah yang selanjutnya bias lebih baik lagi.
Kelompok
5
1.2. Rumusan
Masalah
1.3. Tujuan
3.2. Saran-Saran
Perang Padri adalah peperangan yang
berlangsung di Sumatera
Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan
Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1]
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam
masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri
dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum
Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga
aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam.[2]
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun
1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam
peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat
yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun
keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833
Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun
pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri
termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan
mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain
meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari
kawasan konflik.
Ada
beberapa rumusan yang kami jadikan permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
A.
Kapan terjadinya perang paderi?
B.
Apa yang menjadi latar belakang dari
peperangan tersebut?
C.
Siapa saja yang terlibat dalam
peperangan ini?
Adapun
tujuan dari pembuatn makalah ini adalah sebagai berikut :
A.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Nasional Indonesia II. Dosen Pengampuh. Drs. Sudjitro.
B.
Menjadikan bahan latihan bagi kami untuk
menceritakan kembali sejarah perang paderi
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
A.
Memberikan pengetahuan baru bagi kami
sebagai penulisan dan juga teman-teman prodi sejarah
B.
Setelah memahami dari sejarah perang
paderi ini. Diharapkan kita bias mengambil manfaat dan segala sesuatunya yang
tersirat dalam sejarah perang ini.
Perang Padri
dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji
Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum
sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3]
Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat
tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama
dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung
dalam Harimau
Nan Salapan.[4]
Harimau Nan
Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam
beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu
beberapa nagari dalam Kerajaan
Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri
dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan
Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota
kerajaan.[5]
Dari catatan Raffles yang pernah
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan
bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah
terbakar.[6]
Karena terdesak
dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak
pasti, maka Kaum
Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta
bantuan kepada Belanda pada tanggal 21
Februari 1821, walaupun
sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat
perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7]
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian
mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena
diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai
dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy
di Padang.[9]
Kemudian pada 8
Desember 1821 datang
tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai
tersebut.
Pada tanggal 4
Maret 1822, pasukan
Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum
Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian
Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun
kekuatan dan bertahan di Lintau.[10]
Pada tanggal 10
Juni 1822 pergerakan
pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh
Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak
Agam. Pada tanggal 14
Agustus 1822 dalam
pertempuran di Baso, Kapten
Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5
September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan
Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus
tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Nan Renceh.
Setelah
mendapat tambahan pasukan pada 13
April 1823, Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan,
sehingga pada tanggal 16
April 1823 Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke
Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin
Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di
Pagaruyung.[11]
Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17
April 1824 setelah
sebelumnya mengalami demam
tinggi.[12]
Sementara pada
bulan September 1824, pasukan
Belanda di bawah pimpinan Mayor
Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa
kawasan di Luhak
Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena
luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin
meninggal dunia di Padang.[13]
Perlawanan yang
dilakukan oleh Kaum
Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk
menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak
pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian
Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan
dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam
Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga
akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak
Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten
Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan
kepada agama Islam, sedangkan
agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]
Tuanku
Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam
di Bonjol.[15]
Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh
meninggal dunia.[16]
Pada masa
kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh Kaum Padri terhadap
saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi
lain fanatisme tersebut juga
melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Setelah
berakhirnya perang
Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali
mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini
sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang
meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas
perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine
Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika
perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada
satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya
untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang
mampu memproduksi mesiu dan senjata
api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal
dengan nama Fort de Kock.
2.5.1.
Persiapan pasukan Belanda di Fort
de Kock
Pada awal bulan
Agustus 1831 Lintau
berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam
kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap
melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara
ketika Letnan Kolonel Elout melakukan
berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh
tambahan kekuatan dari pasukan Sentot
Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran
Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai
perang di Jawa. Namun
kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di
Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda
membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum
Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa,
Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya,
dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya
kembali ke Sumatera. Namun di
tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu
ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan
kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada bulan Juli
1832, dari Jakarta
dikirim pasukan infantri dalam jumlah
besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk
mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada
bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada
dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17]
Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh
kekuatan Kaum Padri di Luhak
Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang
pada akhir tahun 1832, sehingga
kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan
di Bonjol.
Selanjutnya
pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih
menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan
Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka
dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku
Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18]
Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao
menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia
dinaikkan ke atas kapal untuk
diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara
Belanda.[19]
Sejak tahun 1833 mulai muncul
kompromi antara Kaum
Adat dan Kaum Padri.[20]
Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik
justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah
dikatakan sebagai perang
saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu
pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan
menjadi kacau,[21] disebutkan
ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap
oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Jakarta, walau dalam
catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam
penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau
mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent
Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal
itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara
keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka
Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan
pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan
bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai
negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan,
penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan
tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian
Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan
sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti
menjualnya kepada Belanda.
Lamanya
penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat
dari dekat proses operasi
militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22]
Sesampainya di Padang, ia melakukan
perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum
terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih
disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari
belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng
Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir
tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada
tanggal 16
September 1833.
Taktik serangan gerilya yang
diterapkan Kaum
Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan
Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya
dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat
di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan
oleh Jean
Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke
Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan
selanjutnya.
Kemudian selama
tahun 1834 Belanda hanya
fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah
ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak
Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang
dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda
memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan
sekitarnya. Operasi
militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan
Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban.
Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu
tengah dilanda banjir, dan terus
masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka
jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan
pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian
menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan
sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya
di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri.
Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak
korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding,
pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya.
Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian
daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23]
Walau
pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir
sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang.
Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang
secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan
Belanda berhasil menguasai daerah ini.[24]
Selanjutnya
pada tanggal 11
Juni 1835 pasukan
Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang
Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan disana, sementara pasukan
Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda
berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah
malam tanggal 16
Juni 1835, kemudian
mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser,
mortir dan meriam, pasukan
Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal
diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi
yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang
bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis
di Padang dan pada
tanggal 21 Juni 1835, dengan
kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir
yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
terletak di atas bukit yang hampir
tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari
benteng ini mengalir Batang
Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran
yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi
empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis
setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam
dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan
teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya
ditanami bambu berduri
panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat
mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan
Belanda.[25]
Semak belukar dan hutan yang sangat
lebat di sekitar Bonjol menjadikan
kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun
kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku
Imam Bonjol.[26]
Melihat
kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba
melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan
untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang
dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan
pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Disaat
bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang
telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau
dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai
titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk
melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala
bantuan tentara yang terdiri
dari pasukan Bugis datang, maka
pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan
mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit
Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada
disekitar Bukit Tajadi.[27]
Namun sampai
awal September 1835, pasukan
Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri
keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan
kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan
tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan
Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang
Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan
Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang
komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian
posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang
berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian
rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga
pada tanggal 11
Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat
senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan
mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas
pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun
mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan
Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol,
sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu
menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu
dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku
Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi
Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir
dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali
korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan
penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang waktu itu
telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada
awal tahun 1837 mengirimkan
seorang panglima perangnya yang bernama Mayor
Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke
Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[28]
Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam
strategi perang Benteng
Stelsel.
Selanjutnya
Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan (16
Maret–17
Agustus 1837)[29]
dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian
besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148
perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara
Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen
hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar
nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor
Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der
Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche
(pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Jakarta didatangkan
terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan
Kapal Perle di Padang, sejumlah
orang Eropa dan Sepoys,
serdadu dari Afrika yang berdinas
dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari
1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein
Sinninghe.
Serangan yang
bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama
kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus
berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai
komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan
akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi
jatuh, dan pada tanggal 16
Agustus 1837 Benteng Bonjol
secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku
Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan
didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Dalam pelarian
dan persembunyiannya, Tuanku
Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh
pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3
tahun bertempur melawan Belanda secara terus
menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk
bertempur kembali.
Dalam kondisi
seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak
berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan
perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya.
Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat
perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk
menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian
Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus
dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia
dipindahkan ke Cianjur, dan pada
akhir tahun 1838, ia kembali
dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada
tanggal 19
Januari 1839, Tuanku Imam
Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah
inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku
Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.[30]
Meskipun pada
tahun 1837 Benteng Bonjol
dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku
Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini
masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu
(Rokan Hulu), yang waktu
itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[31]
Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa
pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan
Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica
dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada
di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Pengaruh dari
peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing
pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun
sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[32]
Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini
ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[33]
Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah
setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai
dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Dari uraian di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa :
B.
Latar Belakang dari Perang Paderi adalah
Perang Padri
dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum
Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga
aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya
kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan
pada tahun 1803.
C.
Adapun orang-orang yang terlibat dalam
peperangan ini adalah :
1.
Kaum Paderi
2.
Kaum Adat
3.
Belanda
Adapun saran-saran yang dapat kami
berikan adalah :
1. Belajarlah
dari Sejarah
2. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah
1.
1838. Het
verhaal van de overwinning van Bondjol. De Avondbode. (26-03-1838)
- 1839. Bondjol. Tijdschrift voor Nederlands Indië. 456-458.
- 1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
- 1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
- 1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- 1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
- 1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
- 1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
- 1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
- 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.
3.
^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins
of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle
Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of
Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
4. ^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau
Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8
6. ^ Raffles,
Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford
Raffles. London: J. Murray.
8. ^ G. Kepper,
(1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den
Haag: M.M. Cuvee.
9. ^ Episoden Uit
Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.
10. ^ H. M. Lange
(1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra
(1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
11. ^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic
revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847.
Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
12. ^ P. C.
Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek.
Deel 2, Bladzijde 1148.
14. ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah
(2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in
Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious
Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira.
Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
15.
^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1.
Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
16. ^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
17. ^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial
Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
20.
^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an
Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
22. ^ Pusat Sejarah
Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan
Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
23. ^ J.C. van
Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam.
Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
24. ^ Abdul Qadir
Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan
penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah
Al-Munawwarah.
27. ^ Journaal van de
Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de
Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
28. ^ Tate, D. J. M.
(1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest.
Oxford University Press.
29. ^ G. Teitler
(2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol
1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm.
59-183.
31. ^ Westenenk, L.
C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the
Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.
33.
^ Westenenk, L.
C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the
Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar