Puja dan Puji syukur
kami haturkan kepada Allah SWT,yang mana berkat Hidayah, dan Maunahnya kami bia
menyelesaikan makalah ini dengan rampung.
Yang kedua, shalawat
serta salamullah semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
mana berkat jerih payah beliau kita bias menikmai indahnya hidup dengan adanya
Dinul Islam.
Dalam pnulisan makalah
kali ini, kami mempunyai kesempatan untuk mengangkat tema “Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sejarah ”,
yang mana dengan tema kali ini, kami berusaha untuk menggali lebih dalam lagi
akan ilmu pengetahuan yang masih belum kami ketahui sebelumnya, terutama
masalah teori pendidikan kognitif.
Dalam makalah ini, ada
beberapa pembahasan, yaitu mengenai pengertian kognitif, macam-macam teori
kognitif, dan tokokh-tokoh teori kognitif.
Tak ada gading yang tak
retak.Mungkin seperti itulah kami menggambarkan makalah kami.Dalam penulisan
makalah ini, masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat konstruktif, agar pada penulisan makalah yang
selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Penulis
1.2.
Rumusan Masalah
1.3.
Tujuan
2.1.1.
Jenis Pengetahuan
2.1.2.
Model Pengolahan Informasi
2.2.2.
AUSUBEL
2.2.3.
BRUNER
2.3. Karakteristik Pendidikan Sejarah
...…………………………………………. 17
2.4. Implikasi Teori Kognitif Pada
Pendidikan Sejarah ………………………… 19
Teori-teori belajar bermunculan seiring
dengan perkembangan teori psikologi. Salah satu diantara teori belajar yang
terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya B.F. Skinner,
Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil
eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih
menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.[1]
Namun seiring dengan kemajuan zaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan,
yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa,
teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot,
padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction)
dan pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan
karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena
lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan
dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya
perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.[2]
Hal ini dapat diidentifikasi sebagai kelemahan teori behaviorisme.
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam teori behaviorisme dapat diambil suatu pertanyaan, “Upaya apa yang akan
dilakukan oleh para ahli psikologi pendidikan dalam mengatasi
kelemahan teori tersebut ?’’Realitas ini sangat penting untuk dibahas dalam
makalah ini.
Untuk itu pembahasan makalah ini diangkat
untuk mengungkap masalah-masalah tersebut. Berdasarkan tulisan-tulisan dalam
berbagai literatur, ditemukan bahwa para ahli telah menemukan teori baru
tentang belajar yaitu teori belajar kognitif yang lebih mampu meyakinkan dan
menyumbangkan pemikiran besar demi perkembangan dan kemajuan proses belajar
sebagai lanjutan dari teori behaviorisme tersebut.
Selanjutnya berangkat dari latar
belakang masalah tersebut di atas, makalah ini kami beri judul “Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Sejarah “
Rumusan masalah yang kami angkat dalam
makalah ini adalah :
1.
Bagaimana pandangan teori belajar Kognitif itu ?
2.
Siapa tokoh-tokoh teori belajar Kognitif itu ?
Adapun
tujuan penulisan dalam makalah ini adalah agar kita dapat
menjelaskan/mendeskripsikan :
1.
Pandangan
tentang teori belajar Kognitif dan implikasinya terhadap pendidikan
sejarah
2.
Tokoh-tokoh
teori belajar Kognitif
Tidak
seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia
tunduk pada peneguhan dan hukuman.[3]pada
perspektif kognitif[4]
ternyata ditemui tiap individu justru merencakan respons perilakunya,
menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia mengingat serta
mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah.Hal yang menjadi pembahasan
sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Menurut
pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen
terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi
belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita ketahui akan sangat menentukan
apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun
dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi
juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif kognitif membagi
jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
A. Pengetahuan Deklaratif
Yaitu
pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya
pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi
berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi
(setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya
gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan)
atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan
maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
B. Pengetahuan Prosedural
Yaitu
pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian
satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan
bagaimana”. Contoh, Menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada
bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu
mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan
prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu
atau menterjemahkan teks bahasa Inggris. Seperti halnya siswa yang mampu
berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural
hal tersebut.
C. Pengetahuan Kondisional
Pengetahuan
adalah pengetahuan dalam hal “kapan
dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan. Seperti.siswa
harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan
deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural).
Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa,
karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat.Terkadang siswa
mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur pemecahan masalah tertentu,
namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang tepat.
Untuk
menggunakan tiga jenis pengetahuan di atas, tentunya kita harus dapat
mengingatnya dengan baik. Hal berikutnya teori belajar yang dibahas dalam perspektif kognitif ini adalah tentang bagaimana individu mengingat dan bagian apa
saja dari memori yang bekerja dalam proses berpikir seperti pada pemecahan
masalah. Model pengolahan informasi merupakan salah satu model dari
perspektif teori belajar ini yang menjelaskan
kerja memori manusiasesuai dengan analogi komputer, yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan ingatan: memori
sensori, memori kerja dan
memori jangka panjang.
1. Memori
Sensori adalah sistem mengingat stimuli secara cepat sehingga analisis
persepsi dapat terjadi.
2. Memori
Kerja ataumemori jangka pendek, menyimpan lima sampai sembilan informasi
pada satu waktu sampai sekitar 20 detik, yang cukup lama untuk pengolahan
informasi terjadi. Informasi yang dikodekan (decode) serta persepsi tiap
individu akan menentukan apa yang perlu disimpan di memori kerja ini.
3. Memori Jangka Panjang menyimpan
informasi yang sangat besar dalam waktu yang lama. Informasi di
dalamnya disimpan dalam bentuk secara verbal dan visual.
Memori Sensori
Memori sensori adalah sistem yang bekerja seketika
melalui alat indera dimana kita memberikan arti kepada stimuli yang datang
dinamakan persepsi. Arti yang diberikan berasal dari realitas objektif
serta dari pengetahuan kita sebelumnya. Contohnya, suatu symbol ‘l’ akan
dipersepsi sebagai huruf alpabet tertentu kalau kita menggolongkannya dalam
urutan j, k. l, m; namun dalam kesempatan berbeda seperti l, 2, 3, 4 maka
symbol yang sama bermakna angka satu. Memori sensori akan menangkap stimuli dan
mempersepsi, atau memberikan makna; dalam hal ‘l’ konteks dan pengetahuan kita
akan menentukan makna yang akan diberikan, bagi seseorang yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang angka atau huruf, maka symbol itu kemungkinan tidak
bermakna apapun. Misalnya teks yang anda baca saat ini akan dipersepsi berbeda
oleh orang lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun yang buta huruf,
walaupun matanya melihat deretan simbol yang sama seperti Anda; ataupun saat
kita membaca huruf kanji dari koran berbahasa Jepang, dimana kita tidak punya
kemampuan untuk memahaminya. Memori sensori tidak hanya bekerja untuk simbol
saja namun juga dalam hal warna, gerakan, suara, bau, suhu dan lainnya yang
semuanya harus dipersepsi secara simultan. Namun karena keterbatasan kemampuan,
kita hanya dapat memfokuskan pada beberapa stimuli saja dan mengingkari yang
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian
sangatlah selektif; dengan kata lain saat perhatian penuh sangat diperlukan, biasanya stimuli lainnya akan ditolak.
Perhatian adalah
tahap pertama dalam belajar. Siswa tidak dapat memahami apa yang mereka tidak
kenali atau tidak dapat dipersepsi. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi
perhatian siswa. Cara lainnya adalah melalui perlakuan pada kata yang diucapkan
atau ditulis oleh guru dengan warna yang kontras, digaris bawahi atau ditandai;
memanggil siswa secara acak, memberikan kejutan siswa, menanyakan hal yang
menantang, memberikan masalah yang dilematis, mengubah metode mengajar dan
tugas, mengubah frekuensi suara dan jedanya akan dapat membantu menarik
perhatian dari siswa.
Memori Kerja
Saat stimulus dipersepsi dan diubah menjadi suatu pola
gambar atau suara, informasi yang didapat menjadi tersedia untuk proses
selanjutnya. Memori kerja adalah
tempat dimana informasi baru ini berada
dan digabungkan dengan pengetahuan yang
berasal dari memori jangka panjang. Kapasitas memori kerja ini sangat
terbatas, dari berbagai eksperimen kapasitas yang dapat disimpan sekitar lima
sampai sembilan hal baru dalam satu waktu. Satu nomor telepon sepanjang tujuh
desimal dapat diingat oleh rata-rata manusia dewasa, namun hal yang berbeda
bila disuruh untuk mengingat dua buah nomor telepon (14 desimal). Kita tidak
dapat memanggil kedua nomor telepon tadi karena terbatasnya kapasitas memori
kerja ini. Hal lainnya dari memori kerja ini adalah waktu yang digunakannya pun
hanya sekitar 5 sampai 20 detik saja. Namun walaupun begitu, waktu tersebut
sangat cukup misalnya untuk mengingat dan memahami apa yang anda baca dalam
bagian awal kalimat ini sebelum mencapai akhir kalimat. Tanpa adanya memori
kerja, kita tidak bisa memahami susunan kata dalam satu kalimat dan gabungan
antara kalimat yang berdekatan. Karena sedikit dan sempitnya memori ini
bekerja, maka jenis memori ini harus terus diaktifkan, kalau tidak, maka
informasi yang didapat menjadi hilang. Supaya apa yang diingat bisa lebih
panjang dari 20 detik, kebanyakan orang
memakai strategi tertentu untuk mengingatnya. Cara yang pertama adalah strategi latihan yang terbagi menjadi pengelolaan dan elaboratif. Latihan pengelolaan dilakukan dengan
pengulangan informasi di pikiran anda. Sepanjang anda terus melakukan
pengulangan informasi, hal itu akan berada di memori kerja. Cara ini dapat
berguna untuk mengingat sesuatu, seperti nomor telepon, yang kemudian untuk
dipergunakan dan setelah itu tidak perlu diingat lagi. Cara latihan elaboratif adalah dengan menghubungkan sesuatu yang
baru dengan apa yang sudah diketahui, yaitu informasi yang sudah terdapat di
memori jangka panjang. Latihan elaboratif ini tidak hanya meningkatkan memori
kerja, tetapi membantu memindahkan informasi memori jangka pendek ke memori
jangka panjang. Cara kedua
adalah dengan pengelompokkan (chunking) yang dipergunakan untuk
menanggulangi terbatasnya kapasitas memori kerja. Banyaknya bit informasi -bukannya
ukuran setiap bit- adalah sisi keterbatasan memori kerja. Kita dapat mengingat
informasi lebih banyak jika dapat mengelompokkan tiap-tiap bit menjadi unit
yang berarti. Deretan enam angka seperti 1, 5, 1, 8, 2, dan 0 akan lebih mudah
diingat dalam bentuk dua digit (15, 18 dan 20) atau tiga digit (151, 820). Jika
dilakukan cara ini, maka kita cukup perlu mengingat dua atau tiga informasi
saja dalam satu waktu dibanding enam buah.
Memori Jangka Panjang
Informasi memasuki memori kerja dengan cepat, namun untuk
dapat disimpan di memori jangka panjang, membutuhkan usaha tertentu. Dalam memori jangka panjang inilah,
berbagai informasi disimpan dan dihubungkan dalam bentuk gambaran dan
skema, suatu pola struktur data yang membuat kita bisa menggabungkan informasi
kompleks yang sangat besar, membuatkesimpulan
dan memahami informasi baru.
Bila kapasitas memori kerja sangat terbatas, kapasitas memori jangka panjang
dapat dikatakan hampir tak terbatas. Kebanyakan kita tidak pernah menghitung kapasitasnya,
dan saat satu informasi secara aman sudah disimpan, akan tetap ada disana dalam
waktu yang tak terbatas. Secara teoritis walaupun kita mampu untuk mengingat
sebanyak yang kita mau, namun tantangannya justru adalah memanggilnya, yaitu
mendapatkan informasi yang tepat sesuai keinginan. Akses pada informasi
membutuhkan waktu dan usaha, karena kita harus mencarinya dalam lautan
informasi yang luas dalam memori jangka panjang, dan informasi yang jarang
dipakai biasanya akan makin sulit untuk ditemukan. Terdapat tiga jenis memori jangka panjang,
yaitu: episodik[5],
prosedural[6] dan
semantik[7].
Untuk memanggil dan menambah informasi di memori jangka panjang, kita dibantu
dengan elaborasi[8],
organisasi[9]
dan penggunaan konteks.[10]
Psikologi pembelajaran kognitif
mengatakan bahwa perilaku manusia tidak
ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya
sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi
yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus.
Berdasarkan pada pandangan itu teori
psikologi kognitif memandang belajar
sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat
mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain,
aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni
pengolahan informasi.[11]
Teori belajar
kognitif merupakan suatu teori
belajar yang lebih mementingkan proses daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu,
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.[12]
Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan
bagaimana siswa mengolah stimulus, dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke
respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun, lambat laun perhatian itu mulai
bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru
berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu
melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.[13]
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan”
yang diusulkan oleh Jean Piagiet, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan
“belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh
Jerome Bruner.
Dalam perspektif psikologi kognitif,
belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral -yang bersifat jasmaniah- meskipun hal-hal
yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar
siswa.[14]
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal,
mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang
tampak, tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental,
seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.[15]
Meskipun pendekatan kognitif[16]
ini sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti
pendekatan kognitif anti terhadap aliran behavioristik.[17]
2.2. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif
Menurut Jean Piagiet, bahwa proses belajar sebenarnya
terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
A.
Asimilasi
Yaitu proses penyatuan
(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada
dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui prinsip
penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses
pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa),
dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) itu yang disebut
asimilasi.
B.
Akomodasi
Yaitu penyesuaian
struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa diberi soal
perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam
situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
C. Equilibrasi (Penyeimbangan)
Yaitu
penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa
tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan
menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan
antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Proses belajar yang dialami seorang
anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang
sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi yang dialami siswa
lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional kongrit dan
operasional formal). Jadi, secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif
seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikirnya.[18]
Dikemukakannya pula, bahwa belajar
akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan
eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman
sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.[19]
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika
“pengatur kemajuan (belajar)” atau advance organizer didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswa. David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli
psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat
ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari.Ausubel menggunakan istilah “pengatur lanjut” (advance organizers)
dalam penyajian informasi yang dipelajari peserta didik agar belajar menjadi
bermakna. Selanjutnya dikatakan bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan
verbal di satu pihak, sebagian lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui
peserta didik di pihak lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa..Ausubel
tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan
belajar penemuan lebih bermakna dari pada kegiatan belajar. Dengan ceramahpun
asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya
sistimatis akan diperoleh hasil belajar yang baik pula. Ausubel
mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu (1) belajar dengan penemuan yang bermakna, (2) belajar
dengan ceramah yang bermakna, (3) Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna,
dan (4) belajar dengan ceramah yang tidak bermakna. Dia berpendapat bahwa
menghafal berlawanan dengan bermakna,
karena belajar dengan menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi
yang diperoleh itu dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.Dengan demikian
bahwa belajar itu akan lebih berhasil jika materi yang dipelajari bermakna.[20]
Menurut Brunner, pembelajaran
hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri
sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan
kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitasoutput pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran
yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar
pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak
dari tahapan mengingat,
dilanjutkan ke menerapkan,
sampai pada tahap penemuan konsep,
prosedur atau prinsip baru di bidang
disiplin keilmuan atau keahlian
yang sedang dipelajari.[21]
Dalam teori belajar,
Jerome Bruner berpendapatbahwa
kegiatanbelajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan
sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner
membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga
tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru, (2)
tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis
pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin
bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan
(3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap
kedua tadi benar atau tidak.Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan .Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu sajanamun juga
ada empat tema pendidikan yaitu: (1)
mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan, (2) kesiapan (readiness)
siswa untuk belajar, (3) nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi,
(4) motivasi atau keinginan untuk belajar siswa, dan curu untuk memotivasinya.
Dengan demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapundapat diajarkan secara
efektif dengan kejujuran
intelektual kepada anak, bahkan
dalam tahap perkembangan manapun.Bruner beranggapan bahwa anak kecilpunakan dapat mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang
dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan.Berdasarkan uraian di atas, teori belajar Bruner dapat
disimpulkan bahwa, dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi,
trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya
masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak
informasi, motivasi, dan minat siswa.[22]
Bruner juga memandang belajar sebagai “instrumental
conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta sebagai
realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, pikiran manusia dapat
membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran umum pada konsep yang
bersifat khusus.[23]Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif
seseorang,maka semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap stimulus yang
dihadapi.Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa
internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan
aspek-aspek lingkungan sebagai masukan.Teori
belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannyakepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif
individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal.Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu
dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena
kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi
kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui
sentuhan proses pendidikan.[24]
Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah
bagaimana dapat mengembangkan potensi
kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang
ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual
oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan
memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui
proses belajar mengajar di kelas.[25]
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai
(dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang
diantaranya : Kognitif. Kognitif
terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
1. Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2. Pemahaman (menginterpretasikan),
3. Aplikasi / penerapan (menggunakan
konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4. Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5. Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6. Evaluasi (membandingkan nilai, ide,
metode dan sebagainya).[26]
Oleh karena itu para ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah satu faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas ialah faktor kognitif yang dimiliki
oleh peserta didik. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya
berbagai pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar
mandiri maupun kegiatan belajar secara kelompok.[27]
2.3.
Karakteristik Pendidikan Sejarah
Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik yang
khas.Demikian juga halnya dengan mata pelajaran sejarah. Adapun karakteristik
mata pelajaran sejarah adalah sebagai berikut:
1. Sejarah terkait dengan masa lampau.
Masa lampau berisi peristiwa, dan setiap peristiwa sejarah hanya terjadi
sekali. Jadi pembelajaran sejarah adalah pembelajaran peristiwa sejarah dan
perkembangan masyarakat yang telah terjadi. Sementara materi pokok pembelajaran
sejarah adalah produk masa kini berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada.
Karena itu dalam pembelajaran sejarah harus lebih cermat, kritis, berdasarkan
sumber-sumber dan tidak memihak menurut kehendak sendiri dan kehendak
pihak-pihak tertentu.
2. Sejarah bersifat kronologis. Oleh
karena itu dalam mengorganisasikan materi pokok pembelajaran sejarah haruslah
didasarkan pada urutan kronologis peristiwa sejarah.
3. Sejarah ada tiga unsur penting,
yakni manusia, ruang dan waktu. Dengan demikian dalam mengembangkan
pembelajaran sejarah harus selalu diingat siapa pelaku peristiwa sejarah, di
mana dan kapan.
4. Perspektif waktu merupakan dimensi
yang sangat penting dalam sejarah. Sekalipun sejarah itu erat kaitannya dengan
waktu lampau, tetapi waktu lampau itu terus berkesinambungan. Sehingga
persepktif waktu dalam sejarah, ada waktu lampau, kini dan yang akan datang.
Dalam mendesain materi pokok pembelajaran sejarah dapat dikaitkan dengan
persoalan masa kini dan masa depan. Terutama dalam menyisipkan kecakapan
hidup(life skill), kesetaraan gender, hak azazi manusia, dan multi culture)
5. Sejarah ada prinsip sebab-akibat.
Dalam merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, dalam menjelaskan
peristiwa sejarah yang satu dengan peristiwa sejarah yang lain perlu mengingat
prinsip sebab-akibat, dimana peristiwa yang satu diakibatkan oleh peristiwa
sejarah yang lain dan peristiwa sejarah yang satu akan menjadi sebab peristiwa
sejarah berikutnya.
6. Sejarah pada hakikatnya adalah suatu
peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, keyakinan, dan
oleh karena dalam memahami sejarah haruslah dengan pendekatan multidimensional,
sehingga dalam pengembangan materi pokok dan uraian materi pokok untuk setiap
topik/pokok bahasan haruslah dilihat dari berbagai aspek.
7. Pelajaran sejarah di SMA adalah mata
pelajaran yang mengkaji permasalahan dan perkembangan masyarakat dari masa
lampau sampai masa kini, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
8. Pembelajaran sejarah di sekolah,
termasuk di SMA, dilihat dari tujuan dan penggunaannya, dapat dibedakan atas
sejarah empiris dan sejarah normatif. Sejarah empiris menyajikan subtansi
kesejarahan yang bersifat akademis (untuk tujuan yang bersifat ilmiah). Sejarah
normatif menyajikan subtansi kesejarahan yang dipilih menurut ukuran nilai dan
makna yang sesuai dengan tujuan yang bersifat normatif, sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional (Djoko Suryo, 1991). Berkait dengan itu pelajaran
sejarah di sekolah paling tidak mengandung dua misi, yakni; (1), untuk
pendidikan intelektual dan (2), pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan,
pendidikan pembinaan moralitas, jatidiri, nasionalisme dan identitas
bangsa. Pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan pada perspektif
kritis-logis dengan pendekatan historis-sosiologis.[ps]
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran Kognitif
tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.
1.
Mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan
atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru
membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang
merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya
berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka
sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2.
Guru
mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu
yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain.
Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya
akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3.
Mendorong
siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses
pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau
hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru
mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis,
prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4.
Siswa
terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan
interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk
mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki
kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan
gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya
sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman
dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan
terjadi di kelas
5.
Siswa
terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat
berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis
tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang
mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
6.
Guru
memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan
pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan
menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa
untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena
alam tersebut secara bersama-sama.
BAB III
Dari pembahasan Teori Belajar kognitif dapat kami simpulkan sebagai berikut
:
A. Pandangan
Teori Belajar Kognitif adalah:
1. Elemen
terpenting dalam proses belajar
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh
tiap individu.
2. Perilaku
manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri..
3. Belajar
sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat
mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses
internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.
4. Belajar pada asasnya adalah
peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral__yang bersifat
jasmaniah___meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam
hampir setiap peristiwa belajar siswa.
5. Teori belajar kognitif lebih menekankan arti penting proses
internal, mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat
diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi,
kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
B. Tokoh-Tokoh Teori Belajar kognitif adalah :
1. Piagiet
2. Ausubel
3. Bruner
Hendaknyapengetahuan tentang
kognitif siswa perlu dikajisecara mendalam oleh para calon guru dan para guru demi menyukseskan
proses pembelajaran di kelas. Tanpa pengetahuan tentang kognitif siswa , guru
akan mengalami kesulitan dalam membelajarkannya di kelas, yang pada akhirnya
mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di
kelas. Karena faktor kognitif yang dimiliki oleh siswa merupakan salah
satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas.
Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan siswa
melalui kegiatan belajar baik secara mandiri maupun secara kelompok.
1.
Hadis, Abdul, Psikologi Dalam
Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006.
2.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan
Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997.
3.
Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam
Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
4.
Winkel, W. S., Psikologi Pengajaran
cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
3.
Pandangan behaviorisme yang mengatakan bahwa seorang siswa dari segala umur
akan giat belajar, kalau diberikan suatu hadiah (rangsangan/stimulus), yang
berwujud materi kepadanya atau diterapkan suatu hukuman, harus dikatakan
mempunyai pandangan yang terlalu simplistis. Memang, harapan akan mendapat
hadiah dapat mendorong siswa untuk belajar, tetapi belum tentu siswa itu akan
bermotivasi tepat dalam belajar, yaitu belajar demi perkembangan dirinya
sendiri, bahkan ada kemungkinan siswa itu akan mengurangi usaha belajarnya,
kalau hadiah yang berwujud materi itu sudah tidak berarti lagi baginya.
Demikian pula, siswa yang telah beberapa kali kena hukuman karena kurang rajin,
belum tentu akan meningkatkan usahanya, bahkan dapat terjadi yang sebaliknya.
Siswa itu mungkin belajar sesuatu yang tidak diharapkan, yaitu membenci guru
dan sekaligus materi pelajaran. Maka, menggunakan hadiah yang berwujud materi
dan memberikan hukuman secara tepat, menuntut pertimbangan tentang efek yang
positif dan negatif. Lihat dalam W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran cet. 6
(Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 3. Diantara kelemahan teori ini adalah : 1.
Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian
gejalanya., 2. Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan
seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction
(kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang
bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak
menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, 3. Proses
belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit
diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dan hewan. Lihat dalam Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan
Pendekatan Baru (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), 110.
4.
Pandangan kognitivis menonjolkan peranan dari keyakinan, tujuan, penafsiran, harapan,
minat, kemampuan dan lain sebagainya. Pandangan ini menggarisbawahi apa
yang berlangsung dalam diri subyek yang berhadapan dengan berbagai kejadian dan
pengalaman. Orang tidak bereaksi terhadap rangsangan secara otomatis
seolah-olah mereka sebuah mesin, tetapi bereaksi atas interpretasi mereka
terhadap rangsangan itu. Di dalam interpretasi itu terkandung unsur kognitif
seperti penafsiran, keyakinan, penentuan tujuan, perkiraan tentang kemungkinan
mencapai sukses, serta penilaian tentang kemampuan sendiri untuk mengejar suatu
sasaran. Misalnya seorang mahasiswa yang sedang berkonsentrasi penuh pada suatu
proyek studi tidak harus segera mencari makanan sebegitu mulai merasa lapar,
tetapi dapat menunda saat makan sampai proyek itu selesai. Misalnya lagi,
seorang siswa SMU tidak harus baru memulai membaca suatu buku setelah diberi
tugas oleh guru, tetapi dia dapat mempelajarinya atas inisiatif sendiri, karena beranggapan bahwa mata pelajaran
tertentu patut diperdalam dan dia mampu untuk itu. Maka, pada dasarnya isi
interpretasi yang diberikan terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam
itulah yang mengandung daya motivasional. Sesuai dengan pandangan kognitivis,
orang terutama dilihat sebagai sumber motivasinya sendiri berdasarkan
kegiatan mental dalam alam pikirannya, sehingga tergerak untuk memulai
aktivitas tertentu, bertahan dalam aktivitas itu dan mengarahkannya untuk
mencapai suatu tujuan. Ibid.,172.
5.
Episodik adalah jenis memori yang berhubungan dengan informasi pada waktu
dan tempat tertentu, khususnya ingatan yang bersifat pribadi. Memori jenis ini
bersifat teratur, contohnya kita bisa menceritakan detail percakapan, atau
jalannya cerita dari satu film. Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
7.
Semantik memori adalah memori untuk pemahaman, yaitu memori untuk konsep,
prinsip dan hubungannya; dua hal yang disimpan dalam semantik memori disebut
dengan imaji dan skema. Imaji adalah representasi yang didasarkan pada persepsi
visual terhadap struktur informasi. Pada saat kita membentuk bayangan tertentu
kita mengingat atau mengkreasi kembali karakteristik fisik dan struktur spasial
dari informasi. Imaji dapat berguna misalnya dalam menyusun keputusan praktis
bagaimana menempatkan meja di satu ruangan atau jalur yang akan di tempuh ke
satu lokasi. Sedangkan skema adalah stuktur pengetahuan abstrak yang mengatur
sejumlah besar informasi. Skema adalah pola atau panduan untuk memahami
kejadian, konsep atau keterampilan. Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
8.
Elaborasi adalah memberikan arti pada infrormasi baru dengan
menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah ada. Dengan kata lain, kita
menerapkan skema yang ada dan melukiskannya pada pengetahuan sebelumnya untuk
membentuk pemahaman yang baru saat kita memperbaiki pengetahuan yang ada.
Terkadang elaborasi terjadi secara otomatis, misalnya saat guru menerima info
baru tentang pengalaman yang sudah dipahaminya, maka dia akan langsung
mengaktifkan pengetahuan yang ada dan memberikan pemahaman yang lebih baik serta
lengkap. Informasi yang dielaborasi ketika pertama dipelajari, mudah untuk
dipanggil karena elaborasi adalah bentuk pengaktifan memori kerja yang membuat
informasi terus aktif untuk kemudian disimpan di memori jangka panjang.
Elaborasi juga membangun hubungan tambahan pada pengetahuan yang sudah
dipunyai. Makin banyak informasi dihubungan dengan hal lainnya, makin banyak
peta jalan tersedia untuk diikuti dalam mencari sumber pengetahuan aslinya.
Makin sering seorang individu mengelaborasi ide baru, maka dia akan membuatnya
dengan bahasa dia sendiri yang menyebabkan makin baiknya pemahamannya dia
tentang pengetahuan tersebut. Kita membantu siswa dalam elaborasi dengan
menyuruh mereka menuliskan informasi sesuai dengan kata yang mereka susun
sendiri atau dengan membuat contoh yang relevan. Hal yang sebaliknya bisa
terjadi, saat siswa melakukan elaborasi informasi baru dengan menghubungkannya
ke hal yang tidak tepat dan mengembangkan penjelasan yang rancu, maka
miskonsepsi ini pun akan disimpan dan terus diingat oleh siswa. Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
9.
Organisasi pengetahuan yang dimiliki juga meningkatkan belajar. Bahan ajar
yang terorganisir dengan baik tentunya akan lebih mudah dipelajari dibandingkan
yang tidak teratur, khususnya bila informasi di dalamnya juga kompleks.
Menempatkan konsep dalam suatu struktur membantu anda belajar dan mengingat
baik untuk definisi umum dan contoh spesifiknya. Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
10.
Konteks adalah elemen lainnya dari proses yang
mempengaruhi belajar. Aspek fisik dan emosional dari konteks dipelajari
bersamaan degan informasi lainnya. Ketika anda mencoba mengingat satu
informasi, hal itu akan dibantu jika konteks yang ada mirip dengan kondisi kita
mendapat informasinya. Sehingga mengkondisikan suasana test sebelum ujian yang
sesungguhnya akan berpengaruh memperbaiki kinerja. Tentu saja kita tidak bisa
selalu pergi ke tempat yang sama saat mulai memahami suatu hal, namun kalau
dapat menggambarkannya secara mental, hal tersebut dapat meningkatkan
daya ingat. Lihat http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
13.
Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah,
tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Ibarat
seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak “memahami”not-not balok yang
terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas, berdiri
sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang secara utuh masuk ke pikiran
dan perasaannya. Seperti juga ketika anda membaca tulisan ini, bukan
alfabet-alfabet yang terpisah-pisah yang dapat diserap dan dikunyah dalam
pikiran, tetapi adalah kata, kalimat, paragraph yang kesemuanya itu seolah jadi
satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Lihat dalam Hamzah B. Uno, Orientasi
Baru…, 10.
14.
Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca
dan menulis misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah__dalam hal ini
mulut dan tangan untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi,
perilaku mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut
bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Lihat dalam Muhibbin
Syah, Psikologi …,111.
16.
Menurut aliran kognitif, belajar merupakan proses
internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan perilaku seseorang
yang tampak sesungguhnya hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi
persepsi dirinya terhadap sesuatu yang sedang diamati dan dipikirkannya.
Sedangkan fungsi stimulus yang datang dari luar, direspon sebagai
aktifator kerja memori otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus diperbaharui,
sehingga akan selalu saja ada sesuatu yang baru dalam memori dari setiap akhir
kegiatan belajar. Lihat dalam Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, 53.
17.
Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran
behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab
tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti
berfikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain ini, aliran
behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa. Diantara keyakinan
prinsipal teori behavioristik adalah setiap anak manusia lahir tanpa warisan
kecerdasan, warisan bakat, perasaan dan warisan abstrak lainnya. Semua
kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia
melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan. Artinya, seorang
individu manusia bisa pintar, terampil dan berperasaan hanya bergantung pada
individu itu dididik. Keyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para
behavioris adalah peranan “refleks”, yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak
memerlukan kesadaran mental. Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan
belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan
yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi ketrampilan-ketrampilan
dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupasehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai siswa tersebut. Lihat dalam Muhibbin Syah, Psikologi…,
111-112. Dalam perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar digambarkan
seperti tadi adalah naïf (terlalu sederhana dan tak masuk akal) dan sulit
dipertanggung jawabkan secara psikologis. Sebagai argument kritik terhadap
pandangan behavioris tadi adalah : Pertama, memang tak dapat dipungkiri
bahwa kebiasaan pada umumnya berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa.
Seorang siswa lazimnya menyalin pelajaran, juga demikian dengan kebiasaan.
Gerakan tangan dan goresan pena yang dilakukan siswa tersebut demikian
lancarnya karena sudah terbiasa menulis sejak tahun pertama masuk sekolah. Akan
tetapi perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin pelajaran dengan cara
yang biasa ia lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat keputusan apakah ia
akan menyalin pelajaran sekarang, nanti, atau sama sekali tidak. Jadi,
kebiasaan dapat berfungsi sebagai pelaksana aktivitas menyalin pelajaran
dari awal hingga akhir, sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan
dimulainya aktivitas menyalin pelajaran oleh siswa tadi dengan kebiasaan
yang ia kuasai. Keputusan
tersebut tentu bukan peristiwa
behavioral melainkan peristiwa
mental siswa itu sendiri. Kedua, kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemauan siswa itu sendiri. Contoh menurut kebiasaan, seorang siswa
belajar seharian di perpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi, ketika
tiba saat berpuasa pada bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan tidak
mengunyah permen. Dalam hal ini, pengurangan alokasi waktu belajar dan
penghentian kebiasaan mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebut karena
sedang menunaikan ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan perilaku
behavioral melainkan peristiwa mental (konatif) , meskipun secara lahiriah yang
menerima akibat kemauan tersebut adalah perilaku behavioral. Dan dari uraian
contoh-contoh di atas, semakin jelaslah bahwa perilaku belajar itu, dalam hampir semua bentuk dan
manifestasinya, bukan sekedar peristiwa
S-R Bond (ikatan antara stimulus dan respon) melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif. Ibid., 111-113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar