Rabu, 17 Juli 2013

Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sejarah



Puja dan Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT,yang mana berkat Hidayah, dan Maunahnya kami bia menyelesaikan makalah ini dengan rampung.
Yang kedua, shalawat serta salamullah semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana berkat jerih payah beliau kita bias menikmai indahnya hidup dengan adanya Dinul Islam.
Dalam pnulisan makalah kali ini, kami mempunyai kesempatan untuk mengangkat tema “Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sejarah ”, yang mana dengan tema kali ini, kami berusaha untuk menggali lebih dalam lagi akan ilmu pengetahuan yang masih belum kami ketahui sebelumnya, terutama masalah teori pendidikan kognitif.
Dalam makalah ini, ada beberapa pembahasan, yaitu mengenai pengertian kognitif, macam-macam teori kognitif, dan tokokh-tokoh teori kognitif.
Tak ada gading yang tak retak.Mungkin seperti itulah kami menggambarkan makalah kami.Dalam penulisan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif, agar pada penulisan makalah yang selanjutnya bisa lebih baik lagi.





                                                                                                Penulis


1.3. Tujuan. 2
2.2.2. AUSUBEL.. 13
2.2.3. BRUNER.. 14
2.3. Karakteristik Pendidikan Sejarah ...…………………………………………. 17
2.4. Implikasi Teori Kognitif Pada Pendidikan Sejarah   ………………………… 19


Teori-teori belajar bermunculan seiring dengan perkembangan teori psikologi. Salah satu diantara teori belajar yang terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya B.F. Skinner, Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.[1]
Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa, teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti  kinerja mesin atau robot, padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.[2] Hal ini dapat diidentifikasi sebagai  kelemahan teori behaviorisme.
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam teori behaviorisme dapat diambil suatu pertanyaan, “Upaya apa yang akan dilakukan oleh  para ahli psikologi pendidikan dalam  mengatasi kelemahan teori tersebut ?’’Realitas ini sangat penting untuk dibahas dalam makalah ini.
Untuk itu pembahasan makalah ini diangkat untuk mengungkap masalah-masalah tersebut. Berdasarkan tulisan-tulisan dalam berbagai literatur, ditemukan bahwa para ahli telah menemukan teori baru tentang belajar yaitu teori belajar kognitif yang lebih mampu meyakinkan dan menyumbangkan pemikiran besar demi perkembangan dan kemajuan proses belajar sebagai  lanjutan dari teori behaviorisme tersebut.
Selanjutnya berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas, makalah ini kami beri judul “Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya terhadap Pendidikan Sejarah
Rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana pandangan teori belajar Kognitif itu ?
2.      Siapa tokoh-tokoh teori belajar Kognitif itu ?
            Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah agar kita dapat menjelaskan/mendeskripsikan :
1.      Pandangan tentang  teori belajar Kognitif dan implikasinya terhadap pendidikan sejarah
2.      Tokoh-tokoh teori belajar Kognitif


Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia tunduk pada peneguhan dan hukuman.[3]pada perspektif kognitif[4] ternyata ditemui tiap individu justru merencakan respons perilakunya,  menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah.Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita ketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
A.    Pengetahuan Deklaratif
Yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual. Contoh, pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
B.     Pengetahuan Prosedural
Yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”. Contoh,  Menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau menterjemahkan teks bahasa Inggris. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut.
C.     Pengetahuan Kondisional
Pengetahuan adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan. Seperti.siswa harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat.Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang tepat.
Untuk menggunakan tiga jenis pengetahuan di atas, tentunya kita harus dapat mengingatnya dengan baik. Hal berikutnya teori belajar yang dibahas dalam perspektif kognitif ini adalah tentang bagaimana individu mengingat dan bagian apa saja dari memori yang bekerja dalam proses berpikir seperti pada pemecahan masalah. Model pengolahan informasi merupakan salah satu model dari perspektif teori belajar ini yang menjelaskan kerja memori manusiasesuai dengan analogi komputer, yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan ingatan: memori sensori, memori kerja dan memori jangka panjang.
1. Memori Sensori adalah sistem mengingat stimuli secara cepat sehingga analisis persepsi dapat terjadi.
2. Memori Kerja ataumemori jangka pendek, menyimpan lima sampai sembilan informasi pada satu waktu sampai sekitar 20 detik, yang cukup lama untuk pengolahan informasi terjadi. Informasi yang dikodekan (decode) serta persepsi tiap individu akan menentukan apa yang perlu disimpan di memori kerja ini.
3. Memori Jangka Panjang menyimpan informasi yang sangat besar dalam waktu yang lama. Informasi di dalamnya disimpan dalam bentuk secara verbal dan visual.
Memori Sensori
Memori sensori adalah sistem yang bekerja seketika melalui alat indera dimana kita memberikan arti kepada stimuli yang datang dinamakan persepsi. Arti yang diberikan berasal dari realitas objektif serta dari pengetahuan kita sebelumnya. Contohnya, suatu symbol ‘l’ akan dipersepsi sebagai huruf alpabet tertentu kalau kita menggolongkannya dalam urutan j, k. l, m; namun dalam kesempatan berbeda seperti l, 2, 3, 4 maka symbol yang sama bermakna angka satu. Memori sensori akan menangkap stimuli dan mempersepsi, atau memberikan makna; dalam hal ‘l’ konteks dan pengetahuan kita akan menentukan makna yang akan diberikan, bagi seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang angka atau huruf, maka symbol itu kemungkinan tidak bermakna apapun. Misalnya teks yang anda baca saat ini akan dipersepsi berbeda oleh orang lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun yang buta huruf, walaupun matanya melihat deretan simbol yang sama seperti Anda; ataupun saat kita membaca huruf kanji dari koran berbahasa Jepang, dimana kita tidak punya kemampuan untuk memahaminya. Memori sensori tidak hanya bekerja untuk simbol saja namun juga dalam hal warna, gerakan, suara, bau, suhu dan lainnya yang semuanya harus dipersepsi secara simultan. Namun karena keterbatasan kemampuan, kita hanya dapat memfokuskan pada beberapa stimuli saja dan mengingkari yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian sangatlah selektif; dengan kata lain saat perhatian penuh sangat diperlukan, biasanya stimuli lainnya akan ditolak.
Perhatian adalah tahap pertama dalam belajar. Siswa tidak dapat memahami apa yang mereka tidak kenali atau tidak dapat dipersepsi. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Cara lainnya adalah melalui perlakuan pada kata yang diucapkan atau ditulis oleh guru dengan warna yang kontras, digaris bawahi atau ditandai; memanggil siswa secara acak, memberikan kejutan siswa, menanyakan hal yang menantang, memberikan masalah yang dilematis, mengubah metode mengajar dan tugas, mengubah frekuensi suara dan jedanya akan dapat membantu menarik perhatian dari siswa.
Memori Kerja
Saat stimulus dipersepsi dan diubah menjadi suatu pola gambar atau suara, informasi yang didapat menjadi tersedia untuk proses selanjutnya. Memori kerja adalah tempat dimana informasi baru ini berada dan digabungkan dengan pengetahuan yang berasal dari memori jangka panjang. Kapasitas memori kerja ini sangat terbatas, dari berbagai eksperimen kapasitas yang dapat disimpan sekitar lima sampai sembilan hal baru dalam satu waktu. Satu nomor telepon sepanjang tujuh desimal dapat diingat oleh rata-rata manusia dewasa, namun hal yang berbeda bila disuruh untuk mengingat dua buah nomor telepon (14 desimal). Kita tidak dapat memanggil kedua nomor telepon tadi karena terbatasnya kapasitas memori kerja ini. Hal lainnya dari memori kerja ini adalah waktu yang digunakannya pun hanya sekitar 5 sampai 20 detik saja. Namun walaupun begitu, waktu tersebut sangat cukup misalnya untuk mengingat dan memahami apa yang anda baca dalam bagian awal kalimat ini sebelum mencapai akhir kalimat. Tanpa adanya memori kerja, kita tidak bisa memahami susunan kata dalam satu kalimat dan gabungan antara kalimat yang berdekatan. Karena sedikit dan sempitnya memori ini bekerja, maka jenis memori ini harus terus diaktifkan, kalau tidak, maka informasi yang didapat menjadi hilang. Supaya apa yang diingat bisa lebih panjang dari 20 detik, kebanyakan orang memakai strategi tertentu untuk mengingatnya. Cara yang pertama adalah strategi latihan yang terbagi menjadi pengelolaan dan elaboratif. Latihan pengelolaan dilakukan dengan pengulangan informasi di pikiran anda. Sepanjang anda terus melakukan pengulangan informasi, hal itu akan berada di memori kerja. Cara ini dapat berguna untuk mengingat sesuatu, seperti nomor telepon, yang kemudian untuk dipergunakan dan setelah itu tidak perlu diingat lagi. Cara latihan elaboratif adalah dengan menghubungkan sesuatu yang baru dengan apa yang sudah diketahui, yaitu informasi yang sudah terdapat di memori jangka panjang. Latihan elaboratif ini tidak hanya meningkatkan memori kerja, tetapi membantu memindahkan informasi memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Cara kedua adalah dengan pengelompokkan (chunking) yang dipergunakan untuk menanggulangi terbatasnya kapasitas memori kerja. Banyaknya bit informasi -bukannya ukuran setiap bit- adalah sisi keterbatasan memori kerja. Kita dapat mengingat informasi lebih banyak jika dapat mengelompokkan tiap-tiap bit menjadi unit yang berarti. Deretan enam angka seperti 1, 5, 1, 8, 2, dan 0 akan lebih mudah diingat dalam bentuk dua digit (15, 18 dan 20) atau tiga digit (151, 820). Jika dilakukan cara ini, maka kita cukup perlu mengingat dua atau tiga informasi saja dalam satu waktu dibanding enam buah.
Memori Jangka Panjang
Informasi memasuki memori kerja dengan cepat, namun untuk dapat disimpan di memori jangka panjang, membutuhkan usaha tertentu. Dalam memori jangka panjang inilah, berbagai informasi disimpan dan dihubungkan dalam bentuk gambaran dan skema, suatu pola struktur data yang membuat kita bisa menggabungkan informasi kompleks yang sangat besar, membuatkesimpulan dan memahami informasi baru. Bila kapasitas memori kerja sangat terbatas, kapasitas memori jangka panjang dapat dikatakan hampir tak terbatas. Kebanyakan kita tidak pernah menghitung kapasitasnya, dan saat satu informasi secara aman sudah disimpan, akan tetap ada disana dalam waktu yang tak terbatas. Secara teoritis walaupun kita mampu untuk mengingat sebanyak yang kita mau, namun tantangannya justru adalah memanggilnya, yaitu mendapatkan informasi yang tepat sesuai keinginan. Akses pada informasi membutuhkan waktu dan usaha, karena kita harus mencarinya dalam lautan informasi yang luas dalam memori jangka panjang, dan informasi yang jarang dipakai biasanya akan makin sulit untuk ditemukan. Terdapat tiga jenis memori jangka panjang, yaitu: episodik[5], prosedural[6] dan semantik[7]. Untuk memanggil dan menambah informasi di memori jangka panjang, kita dibantu dengan elaborasi[8], organisasi[9] dan penggunaan konteks.[10]
Psikologi pembelajaran kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.[11]
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.[12] Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus, dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun, lambat laun perhatian itu mulai bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh  siswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.[13] Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh  Jean Piagiet, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh  Jerome Bruner.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral  -yang bersifat jasmaniah- meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.[14] Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.[15]
            Meskipun pendekatan kognitif[16] ini sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti pendekatan kognitif anti terhadap aliran behavioristik.[17]
2.2. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif
Menurut Jean Piagiet, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
A.    Asimilasi
            Yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif  yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian (sebagai  informasi baru) itu yang disebut asimilasi.


B.     Akomodasi
            Yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
C.     Equilibrasi (Penyeimbangan)
            Yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional kongrit dan operasional formal). Jadi, secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikirnya.[18]
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.[19]
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika “pengatur kemajuan (belajar)” atau advance organizer didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari.Ausubel menggunakan istilah “pengatur lanjut” (advance organizers) dalam penyajian informasi yang dipelajari peserta didik agar belajar menjadi bermakna. Selanjutnya dikatakan bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak, sebagian lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui peserta didik di pihak lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa..Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan lebih bermakna dari pada kegiatan belajar. Dengan ceramahpun asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistimatis akan diperoleh hasil belajar yang baik pula. Ausubel mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu (1) belajar dengan penemuan yang bermakna, (2) belajar dengan ceramah yang bermakna, (3) Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, dan (4) belajar dengan ceramah yang tidak bermakna. Dia berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan bermakna, karena belajar dengan menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh itu dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.Dengan demikian bahwa belajar itu akan lebih berhasil jika materi yang dipelajari bermakna.[20]
Menurut Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitasoutput pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.[21]
Dalam teori belajar, Jerome Bruner berpendapatbahwa kegiatanbelajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan .Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu sajanamun juga ada empat tema pendidikan yaitu: (1) mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan, (2) kesiapan (readiness) siswa untuk belajar, (3) nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi, (4) motivasi atau keinginan untuk belajar siswa, dan curu untuk memotivasinya.
Dengan demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapundapat diajarkan secara efektif dengan kejujuran intelektual kepada anak, bahkan dalam tahap perkembangan manapun.Bruner beranggapan bahwa anak kecilpunakan dapat mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan.Berdasarkan uraian di atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak informasi, motivasi, dan minat siswa.[22]
Bruner juga memandang belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta sebagai  realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran umum pada konsep yang bersifat khusus.[23]Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif seseorang,maka semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap stimulus yang dihadapi.Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan.Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannyakepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal.Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh  para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh  sejauhmana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.[24]
Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh  proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.[25]
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh  siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang  diantaranya : Kognitif. Kognitif  terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
1.      Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2.      Pemahaman (menginterpretasikan),
3.      Aplikasi / penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4.      Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5.      Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6.      Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).[26]
Oleh karena itu para ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas ialah faktor kognitif yang dimiliki oleh  peserta didik. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun kegiatan belajar secara kelompok.[27]
2.3.      Karakteristik Pendidikan Sejarah
Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik yang khas.Demikian juga halnya dengan mata pelajaran sejarah. Adapun karakteristik mata pelajaran sejarah adalah sebagai berikut:
1.      Sejarah terkait dengan masa lampau. Masa lampau berisi peristiwa, dan setiap peristiwa sejarah hanya terjadi sekali. Jadi pembelajaran sejarah adalah pembelajaran peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah terjadi. Sementara materi pokok pembelajaran sejarah adalah produk masa kini berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada. Karena itu dalam pembelajaran sejarah harus lebih cermat, kritis, berdasarkan sumber-sumber dan tidak memihak menurut kehendak sendiri dan kehendak pihak-pihak tertentu.
2.      Sejarah bersifat kronologis. Oleh karena itu dalam mengorganisasikan materi pokok pembelajaran sejarah haruslah didasarkan pada urutan kronologis peristiwa sejarah.
3.      Sejarah ada tiga unsur penting, yakni manusia, ruang dan waktu. Dengan demikian dalam mengembangkan pembelajaran sejarah harus selalu diingat siapa pelaku peristiwa sejarah, di mana dan kapan.
4.      Perspektif waktu merupakan dimensi yang sangat penting dalam sejarah. Sekalipun sejarah itu erat kaitannya dengan waktu lampau, tetapi waktu lampau itu terus berkesinambungan. Sehingga persepktif waktu dalam sejarah, ada waktu lampau, kini dan yang akan datang. Dalam mendesain materi pokok pembelajaran sejarah dapat dikaitkan dengan persoalan masa kini dan masa depan. Terutama dalam menyisipkan  kecakapan hidup(life skill), kesetaraan gender, hak azazi manusia, dan multi culture)
5.      Sejarah ada prinsip sebab-akibat. Dalam merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, dalam menjelaskan peristiwa sejarah yang satu dengan peristiwa sejarah yang lain perlu mengingat prinsip sebab-akibat, dimana peristiwa yang satu diakibatkan oleh peristiwa sejarah yang lain dan peristiwa sejarah yang satu akan menjadi sebab peristiwa sejarah berikutnya.
6.      Sejarah pada hakikatnya adalah suatu peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan  seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, keyakinan, dan oleh karena dalam memahami sejarah haruslah dengan pendekatan multidimensional, sehingga dalam pengembangan materi pokok dan uraian materi pokok untuk setiap topik/pokok bahasan haruslah dilihat dari berbagai aspek.
7.      Pelajaran sejarah di SMA adalah mata pelajaran yang mengkaji permasalahan dan perkembangan masyarakat dari masa lampau sampai masa kini, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
8.      Pembelajaran sejarah di sekolah, termasuk di SMA, dilihat dari tujuan dan penggunaannya, dapat dibedakan atas sejarah empiris dan sejarah normatif. Sejarah empiris menyajikan subtansi kesejarahan yang bersifat akademis (untuk tujuan yang bersifat ilmiah). Sejarah normatif menyajikan subtansi kesejarahan yang dipilih menurut ukuran nilai dan makna yang sesuai  dengan tujuan yang bersifat normatif, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Djoko Suryo, 1991). Berkait dengan itu pelajaran sejarah di sekolah paling tidak mengandung dua misi, yakni; (1), untuk pendidikan intelektual dan (2),  pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan, pendidikan pembinaan moralitas,  jatidiri, nasionalisme dan identitas bangsa. Pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan pada perspektif kritis-logis dengan pendekatan historis-sosiologis.[ps]
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran Kognitif tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.
1.        Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2.        Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3.        Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4.      Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5.      Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
6.      Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.


BAB III
Dari pembahasan Teori Belajar kognitif dapat kami simpulkan sebagai berikut  :
A. Pandangan Teori Belajar Kognitif adalah:
1.      Elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu.
2.      Perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri..
3.      Belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.
4.      Belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral__yang bersifat jasmaniah___meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
5.      Teori belajar kognitif lebih menekankan arti penting proses internal,  mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
B. Tokoh-Tokoh Teori Belajar kognitif adalah :
1. Piagiet
2. Ausubel
3. Bruner


Hendaknyapengetahuan tentang kognitif siswa perlu dikajisecara mendalam oleh  para calon guru dan para guru demi menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa pengetahuan tentang kognitif siswa , guru akan mengalami kesulitan dalam membelajarkannya di kelas, yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas. Karena faktor kognitif yang dimiliki oleh  siswa merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan siswa melalui kegiatan belajar baik secara mandiri maupun secara kelompok.

1.      Hadis, Abdul, Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006.
2.      Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997.
3.      Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
4.      Winkel, W. S., Psikologi Pengajaran cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi, 2004.


1.       Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), 110.
2.       Ibid
3.       Pandangan behaviorisme yang mengatakan bahwa seorang siswa dari segala umur akan giat belajar, kalau diberikan suatu hadiah (rangsangan/stimulus), yang berwujud materi kepadanya atau diterapkan suatu hukuman, harus dikatakan mempunyai pandangan yang terlalu simplistis. Memang, harapan akan mendapat hadiah dapat mendorong siswa untuk belajar, tetapi belum tentu siswa itu akan bermotivasi tepat dalam belajar, yaitu belajar demi perkembangan dirinya sendiri, bahkan ada kemungkinan siswa itu akan mengurangi usaha belajarnya, kalau hadiah yang berwujud materi itu sudah tidak berarti lagi baginya. Demikian pula, siswa yang telah beberapa kali kena hukuman karena kurang rajin, belum tentu akan meningkatkan usahanya, bahkan dapat terjadi yang sebaliknya. Siswa itu mungkin belajar sesuatu yang tidak diharapkan, yaitu membenci guru dan sekaligus materi pelajaran. Maka, menggunakan hadiah yang berwujud materi dan memberikan hukuman secara tepat, menuntut pertimbangan tentang efek yang positif dan negatif. Lihat dalam W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran cet. 6 (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 3. Diantara kelemahan teori ini adalah : 1. Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya., 2. Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, 3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan. Lihat dalam Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), 110.
4.       Pandangan kognitivis menonjolkan peranan dari keyakinan, tujuan, penafsiran, harapan, minat, kemampuan dan lain sebagainya. Pandangan ini menggarisbawahi apa yang berlangsung dalam diri subyek yang berhadapan dengan berbagai kejadian dan pengalaman. Orang tidak bereaksi terhadap rangsangan secara otomatis seolah-olah mereka sebuah mesin, tetapi bereaksi atas interpretasi mereka terhadap rangsangan itu. Di dalam interpretasi itu terkandung unsur kognitif seperti penafsiran, keyakinan, penentuan tujuan, perkiraan tentang kemungkinan mencapai sukses, serta penilaian tentang kemampuan sendiri untuk mengejar suatu sasaran. Misalnya seorang mahasiswa yang sedang berkonsentrasi penuh pada suatu proyek studi tidak harus segera mencari makanan sebegitu mulai merasa lapar, tetapi dapat menunda saat makan sampai proyek itu selesai. Misalnya lagi, seorang siswa SMU tidak harus baru memulai membaca suatu buku setelah diberi tugas oleh  guru, tetapi dia dapat mempelajarinya atas inisiatif sendiri, karena beranggapan bahwa mata pelajaran tertentu patut diperdalam dan dia mampu untuk itu. Maka, pada dasarnya isi interpretasi yang diberikan terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam itulah yang mengandung daya motivasional. Sesuai dengan pandangan kognitivis, orang terutama dilihat sebagai  sumber motivasinya sendiri berdasarkan kegiatan mental dalam alam pikirannya, sehingga tergerak untuk memulai aktivitas tertentu, bertahan dalam aktivitas itu dan mengarahkannya untuk mencapai suatu tujuan. Ibid.,172.
5.       Episodik adalah jenis memori yang berhubungan dengan informasi pada waktu dan tempat tertentu, khususnya ingatan yang bersifat pribadi. Memori jenis ini bersifat teratur, contohnya kita bisa menceritakan detail percakapan, atau jalannya cerita dari satu film. Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
6.       Memori prosedural adalah memori yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sesuatu.  Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
7.       Semantik memori adalah memori untuk pemahaman, yaitu memori untuk konsep, prinsip dan hubungannya; dua hal yang disimpan dalam semantik memori disebut dengan imaji dan skema. Imaji adalah representasi yang didasarkan pada persepsi visual terhadap struktur informasi. Pada saat kita membentuk bayangan tertentu kita mengingat atau mengkreasi kembali karakteristik fisik dan struktur spasial dari informasi. Imaji dapat berguna misalnya dalam menyusun keputusan praktis bagaimana menempatkan meja di satu ruangan atau jalur yang akan di tempuh ke satu lokasi. Sedangkan skema adalah stuktur pengetahuan abstrak yang mengatur sejumlah besar informasi. Skema adalah pola atau panduan untuk memahami kejadian, konsep atau keterampilan. Lihat dalam  http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
8.       Elaborasi adalah memberikan arti pada infrormasi baru dengan menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah ada. Dengan kata lain, kita menerapkan skema yang ada dan melukiskannya pada pengetahuan sebelumnya untuk membentuk pemahaman yang baru saat kita memperbaiki pengetahuan yang ada. Terkadang elaborasi terjadi secara otomatis, misalnya saat guru menerima info baru tentang pengalaman yang sudah dipahaminya, maka dia akan langsung mengaktifkan pengetahuan yang ada dan memberikan pemahaman yang lebih baik serta lengkap. Informasi yang dielaborasi ketika pertama dipelajari, mudah untuk dipanggil karena elaborasi adalah bentuk pengaktifan memori kerja yang membuat informasi terus aktif untuk kemudian disimpan di memori jangka panjang. Elaborasi juga membangun hubungan tambahan pada pengetahuan yang sudah dipunyai. Makin banyak informasi dihubungan dengan hal lainnya, makin banyak peta jalan tersedia untuk diikuti dalam mencari sumber pengetahuan aslinya. Makin sering seorang individu mengelaborasi ide baru, maka dia akan membuatnya dengan bahasa dia sendiri yang menyebabkan makin baiknya pemahamannya dia tentang pengetahuan tersebut. Kita membantu siswa dalam elaborasi dengan menyuruh mereka menuliskan informasi sesuai dengan kata yang mereka susun sendiri atau dengan membuat contoh yang relevan. Hal yang sebaliknya bisa terjadi, saat siswa melakukan elaborasi informasi baru dengan menghubungkannya ke hal yang tidak tepat dan mengembangkan penjelasan yang rancu, maka miskonsepsi ini pun akan disimpan dan terus diingat oleh siswa. Lihat dalam http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
9.       Organisasi pengetahuan yang dimiliki juga meningkatkan belajar. Bahan ajar yang terorganisir dengan baik tentunya akan lebih mudah dipelajari dibandingkan yang tidak teratur, khususnya bila informasi di dalamnya juga kompleks. Menempatkan konsep dalam suatu struktur membantu anda belajar dan mengingat baik untuk definisi umum dan contoh spesifiknya. Lihat dalam  http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
10.   Konteks adalah elemen lainnya dari proses yang mempengaruhi belajar. Aspek fisik dan emosional dari konteks dipelajari bersamaan degan informasi lainnya. Ketika anda mencoba mengingat satu informasi, hal itu akan dibantu jika konteks yang ada mirip dengan kondisi kita mendapat informasinya. Sehingga mengkondisikan suasana test sebelum ujian yang sesungguhnya akan berpengaruh memperbaiki kinerja. Tentu saja kita tidak bisa selalu pergi ke tempat yang sama saat mulai memahami suatu hal, namun kalau  dapat menggambarkannya secara mental, hal tersebut dapat meningkatkan daya ingat. Lihat http://deceng.wordpress.com/2008/06/09/teori-belajar-kognitif/
11.   http://fisikaumm.blogspot.com/2009/01/psikologi-pembelajaran-kognitif.html
12.   Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 10.
13.   Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak “memahami”not-not balok yang terpampang di partitur sebagai  informasi yang saling lepas, berdiri sendiri, tetapi sebagai  satu kesatuan yang secara utuh masuk ke pikiran dan perasaannya. Seperti juga ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah yang dapat diserap dan dikunyah dalam pikiran, tetapi adalah kata, kalimat, paragraph yang kesemuanya itu seolah jadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Lihat dalam Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, 10.
14.   Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah__dalam hal ini mulut dan tangan untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh  otaknya. Lihat dalam Muhibbin Syah, Psikologi …,111.
15.   Ibid.
16.   Menurut aliran kognitif, belajar merupakan proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan perilaku seseorang yang tampak sesungguhnya hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang sedang diamati dan dipikirkannya. Sedangkan fungsi stimulus yang datang dari luar, direspon sebagai  aktifator kerja memori otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus diperbaharui, sehingga akan selalu saja ada sesuatu yang baru dalam memori dari setiap akhir kegiatan belajar. Lihat dalam  Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, 53.
17.   Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai  sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berfikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa. Diantara keyakinan prinsipal teori behavioristik adalah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, perasaan dan warisan abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan. Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil dan berperasaan hanya bergantung pada individu itu dididik. Keyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan “refleks”, yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak memerlukan kesadaran mental. Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi ketrampilan-ketrampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupasehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai siswa tersebut. Lihat dalam Muhibbin Syah, Psikologi…, 111-112. Dalam perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar digambarkan seperti tadi adalah naïf (terlalu sederhana dan tak masuk akal) dan sulit dipertanggung jawabkan secara psikologis. Sebagai argument kritik terhadap pandangan behavioris tadi adalah : Pertama, memang tak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan pada umumnya berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa. Seorang siswa lazimnya menyalin pelajaran, juga demikian dengan kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena yang dilakukan siswa tersebut demikian lancarnya karena sudah terbiasa menulis sejak tahun pertama masuk sekolah. Akan tetapi perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin pelajaran dengan cara yang biasa ia lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat keputusan apakah ia akan menyalin pelajaran sekarang, nanti, atau sama sekali tidak. Jadi, kebiasaan dapat berfungsi sebagai  pelaksana aktivitas menyalin pelajaran dari awal hingga akhir, sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan dimulainya aktivitas menyalin pelajaran oleh  siswa tadi dengan kebiasaan yang ia kuasai. Keputusan tersebut tentu bukan peristiwa behavioral melainkan peristiwa mental siswa itu sendiri. Kedua, kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh  kemauan siswa itu sendiri. Contoh menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian di perpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi,  ketika tiba saat berpuasa pada bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan tidak mengunyah permen. Dalam hal ini, pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebut karena sedang menunaikan ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan perilaku behavioral melainkan peristiwa mental (konatif) , meskipun secara lahiriah yang menerima akibat kemauan tersebut adalah perilaku behavioral. Dan dari uraian contoh-contoh di atas, semakin jelaslah bahwa perilaku belajar itu, dalam hampir semua bentuk dan manifestasinya, bukan sekedar peristiwa S-R Bond (ikatan antara stimulus dan respon) melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif. Ibid., 111-113.
18.   Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, 11.
19.   http://neozonk.blogspot.com/2008/02/teori-belajar.html
20.   http://fisikaumm.blogspot.com/2009/01/psikologi-pembelajaran-kognitif.html
21.   Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, 54.
22.   http://fisikaumm.blogspot.com/2009/01/psikologi-pembelajaran-kognitif.html
23.   Abdul Hadis, Psikologi Dalam Pendidikan (Bandung:  Alfabeta, 2006), 69.
24.   Ibid
25.   Ibid
26.   Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, 14
27.   Abdul Hadis, Psikologi Dalam…, 70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar