Alhamdulillah, segala
Puja dan Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Ilahi Rabbi, yang mana berkat
Hidayah dan Ma’unahnya, kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu
dan rampung.
Yang kedua.Shalawat
serta Salamullah semoga tetap tercurah limpahkan atas junjungan Nabi besar
kita, yakni Nabi Muhammad SAW.Yang mana berkat jerih payah beliau kita bisa
menikmati manisnya ilmu.
Alhmadulillah, Dalam makalah ini, dengan tema "Sistem
Pendidikan Pra-Kemerdekaan", kami berusaha untuk sedikit memberikan
gambaran akan Pendidikan Masa Kolonial Belanda?, pendidikan masa jepang? dan
juga sekolah-sekolah pada masa pra-kemerdekaan, serta kami juga membahas
tentang sekolah-sekolah pada masa jepang,? Tujuan dan fungsi pendidikan pada
masa pra-kemerdekaan?.semuanya kami bahas secara tuntas dalam makalah ini.
Tidak ada gading yang tak retak, mungkin seperti
itulah kami menggambarkan makalah kami yang jauh dari kata sempurna.Maka dari
itu, Kami sebagai penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dari siapapun, agar dalam penulisan karya tulis selanjutnya, kami
bisa lebih baik lagi.
Penulis
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek
pendidikan : praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam,
pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan
Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai
praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda.
Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia
adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan
sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek
pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era
reformasi sekarang. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan telah mengalami
perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam
kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah system pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam
kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah system pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965
bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek
pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek
pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas
menengah baru yang mampu menjabat sebagai "Pangreh
Praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi
antara anak pejabat dan anak kebanyakan.Kesempatan luas tetap saja diperoleh
anak-anak dari lapisan atas.Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan
adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya.Yakni,
menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam
mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat
akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih
dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan
antara pendidikan untuk orang pribumi.
Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu
dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang
penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat,
tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab,
lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing
dengan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut
diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah
Belanda.Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang
berlandaskan pada budaya bangsa sendiri.Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab
dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara.Praktek pendidikan
selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme.Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa
dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik
lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya.Pada masa ini,
lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan.Upaya membangkitkan
patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas
pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas,
maka penulis merumuskan, pokok permasalahan :
1. Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Belanda?
2. Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Jepang?
Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan system
pendidikan yang telah berlaku di Indonesia khususnya pada masa pendudukan
Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.
Semakin menambah pengetahuan penulis tentang perkembangan
dan perbedaan system pendidikan yang telah trjadi di Indonesia pada setaip
dekade pemerintahan.Selain itu, juga melatih penulis dalam membuat atau
menuliskan suatu karya ilmiah. Juga diharapkan dapat memperkaya ilmu
pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa .
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi
sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern.Pada awalnya, Pemerintah
Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa
sekolah Ongko Loro dan Ongko Siji.Sekolah ini bertujuan agar
anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana
materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis
sederhana.Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas
administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di
satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah
yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya
ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya
dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa
yang masuk di sekolah ongko siji dan loro.Syarat utamanya adalah latar belakang
keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori
Van Deventer dan Baron Van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan
di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan.
Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun,
dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model
persekolahan ini dinamakan Schakel School dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami perubahan
yang cukup banyak.Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak
bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini.Kedua sekolah ini tetap mempertahankan
sistem lama dalam penerimaan siswa baru.Mereka yang berasal dari kalangan
rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS.Mereka
yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar
dapat diterima menjadi siswa sekolah ini.Bahasa Belanda menjadi bahasa
pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan
pula ELS (Eropesch Lagere School)
sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan (China Lagere School) bagi anak-anak keturunan Tionghoa.Sekolah ini
jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang
Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan
MULO yang setingkat SMP jaman sekarang.Kurikulum yang dipergunakan semakin
lengkap.Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar.Selain itu diajarkan
bahasa Perancis dan Inggris.Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan
tingkat ini.Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa
untuk memperoleh kesempatan ini.Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO
sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia
berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun
militer pemerintah Kolonial Belanda.
Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi
pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai
lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak
banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda
menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA
sekarang dengan sebutan AMS (Algemens
Middlebars School) dan HBS (Hoogere
Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki
jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk
HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia
adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda.
Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak.Oleh karena
pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan
sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya
antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo,
Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda
sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan.Di satu sisi, adanya politik etis
tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi
dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi
tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi
jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda,
Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang
diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah
tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah
kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari
kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda
sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas
sosial.Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi
batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri
dan bangsa.Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja
lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan
AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.Menjadi guru
toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi
terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup
mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS.Namun ada kesamaan di
antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang
tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan
bahasa.Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh
kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda.Adapun
kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang
terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan,
sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya.
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas
siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar
belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi
sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah
siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme
pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan
guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan
dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh
disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif
bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang
mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan
dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha
memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di
sekolah.
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai
sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap.
Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi
utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan
bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon,
saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya
sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah
sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria,
Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China
dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi
militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia
Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan
Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan
konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.Sehingga
dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat
dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang
selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret
1942.Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait
pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.
Dijadikannya
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa
Belanda;
2.
Adanya
integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan
kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian
dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama
studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama
dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah
Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto
Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup
sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan,
pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya
dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M.
Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan
setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh
pribumi.Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian.Pasca ini,
Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan
mereka.Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman
kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan
sistem Nipponize (Jepangisasi).Karena
itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi
kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang
akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem
Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (Propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang
diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki
keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok
dalam latihan tersebut antara lain:
1.
Indoktrinasi
ideologi Hakko Ichiu;
2.
Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan
semangat Jepang;
3.
Bahasa,
sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4.
Ilmu
bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5.
Olaharaga
dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin
melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1.
Menyanyikan
lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo
setiap pagi;
2.
Mengibarkan
bendera Jepang, Hinomura dan
menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika
setiap pagi;
3.
setiap
pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa,
bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4.
Setiap
pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso,
senam Jepang;
5.
Melakukan
latihan-latihan fisik dan militer;
6.
Menjadikan
bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi
bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan
ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda
dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS,
sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin
di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui,
yang berimplikasi pada adanya proses Resinification(penyadaran
dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara
lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam
Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya
sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang
bertipe vokasi.Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan
dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang
untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah
Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup.
Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia
pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan
lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil
beberapa kebijakan antara lain:
1. Mengubah Kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang
dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah
dibentuk Sumuka.
2. Pondok Pesantren sering mendapat
kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
3. Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di
bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4. Mengizinkan berdirinya Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan
Bung Hatta.
5. Diizinkannya ulama dan pemimpin
nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi
cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
6. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun
kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam,
Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai
aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan
Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan
kebijakan pendidikan yang dihasilkan.Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari
situasi politik sebuah bangsa.Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan
sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat
rendahan.Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan
semata.
Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda
Jepang yang disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan
SLTA.Akibatnya, semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai
bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan
Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha,
Heiho, dan Peta.
Setelah membaca makalah ini para
pembaca disarankan supaya:
3.2.1. mengambil manfaat dari pendidikan
yang diterapkan sebelum kemerdekaan untuk memperbaiki pendidikan sekarang dan
pendidikan yang akan datang.
3.2.2. pembaca supaya dapat memberikan
pengetahuannya tentang sejarah pendidikan Indonesia sebelum kemerdekan.
3.2.3. pembaca supaya dapat mengambil pelajaran
untuk memberikan pembelajaran kepada calon pesrta didiknya kelak.
1.
Jalaludin,
1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai
2.
Tilaar,
H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995.
Jakarta: Gramedia Widiasarana.
3.
Zaenuddin,
2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar