Alhamdulillah, Segala puja dan Puji syukur kami
haturkan kepada Allah SWT, yang mana berkat hidayah dan ma'unahnya kami bisa
menyelesaikan makalah ini dengan rampung.
Yang kedua. Shalawat serta salamullah semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana berkat jerih payah
beliau, kita bisa menikmati manisnya ilmu pengetahuan dengan adanya Dinul
Islam.
Dalam makalah ini, kami berkesempatan untuk sedikit
membahas tema "Konflik Antar Etnis/SARA", yang mana dalam makalah ini, kami
berusaha untuk menggali dan mencari tau, serta memberi pengetahuan baru kepada
para pembaca mengenai apa itu Konflik SARA, hakikatnya, Dan seterusnya.
Tak ada gading yang tak retak, mungkin seperti itulah
kami menggambarkan makalah kami yang masih jauh dari kata sempurna, maka dari
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari
siapapun, agar dalam penulisan makalah yang selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Kelompok
IV
Suatu
realitas yang tak terbantahkan bahwa tidak satu negara pun di dunia yang
memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang dihuni hanya
oleh satu suku bangsa. Negara mana oun di dunia sekarang selalu didukung oleh
pluralitas penduduk dari segi etinik. Implikasi dari pluralitas etnik adalah
lahirnya pluralitas dalam aspek budaya , bahasa, agama , bahkan kelas sosial
dalam satu negara. Lebih – lebih Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang
tersebar di Nusantara dan memiliki ratusan etnik. Di sisi lain , karakteristik
pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal etnik dan agama. Di Indonesia
terdapat tidak hanya puluhan etrnis , melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan
budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai
etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masin yang satu dengan yang
lainnya berbeda.
Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang di
akui oleh negara yaitu :
Islam,Kristen,Katolik,Hindu,Budha
dan Kong Hu Cu. Karena Bhineka Tunggal Ika terasa pas dengan kondisi bangsa Indonesia
yang denikian majemuk dan heterogen.
Dengan
pluralitas komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun
dan mengembangkan berbagai potensi bangsa yang ada. Pluralitas budaya yang ada
di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan harus disyukuri.
Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan agama, mudah sekali menimbulkan
gesekan antarberbagai kelompok komunal, yang pada gilirannya akan dapat
memunculkan kekerasan sosial.
Lebih
jauh, pluralitas bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak
kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di
samping antarkelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia
pada zaman orde baru lazim disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan).
Ada beberapa hal dalam makalah
ini yang kami jadikan sebagai rumusan masalah, yaitu :
Ø
Apa definisi dari SARA?
Ø
Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
konflik?
Ø
Solusi apa yang harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya konflik?
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
v
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah
Umum Pancasila kelas PCL.12.
v
Untuk memberi sedikit pengetahuan bagi kami sebagai
kelompok IV dan juga teman-teman dalam mengetahui hal-hal tentang SARA
Konflik berasal dari
kata kerja Latin Configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Ada beberapa pengertian konflik menurut
beberapa ahli.
- Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.[1]
- Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
- Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.[2]
- Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
- Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
- Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
- Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
- Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).[3]
- Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
- Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa :
Suku--bangsa kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan
kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa;
Selain itu juga ada pendapat lain yang berusaha men definisikan
mengenai apa itu suku bangsa:
1. Dikutip dari id.wikipedia.org Kelompok
etnik atau suku bangsa
adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku
pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut
dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.[4]
2. Menurut
Koentjaraningrat (1989), suku bangsa merupakan kelompok sosial atau kesatuan
hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur
interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatuan
semua anggotanya serta memiliki sistemkepemimpinan sendiri.
3. Menurut
Theodorson dan Theodorson yang dikutip oleh Zulyani Hidayah (1999), kelompok
etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa
identitas yang sama sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar.
4. Menurut
Abner Cohen yang dikutip oleh Zulyani Hidayah (1999), kelompok etnik adalah
suatu kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah
laku normatif, ataukebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi
yang lebih besar, saling berinteraksidalam kerangka suatu sistem sosial
bersama, seperti negara.
Jadi kesimpulan dari definisi diatas ialah
suku bangsa sebagai kesatuan hidup manusia yangmemiliki kebudayaan dan tradisi
yang unik, membuat mereka mereka memiliki identitas khusus dan berbeda dengan kelompok
lainnya, dan suku bangsa merupakan bagian dari populasi yang lebih besar yang
disebut dengan bangsa.[5]
Agama berasal dari bahasa
sansekerta, yaitu “a” yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau, maka
agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah
peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai
kepada kekuatan ghaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama.
Pengertian agama dalam
konsep sosiologi adalah : kepercayaan terhadap hal-hal yang spiritual,
seperangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai
tujuan tersendiri, dan ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.
Menurut Dradjat dalam
Widiyanta, agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu
yang diyakininya. Bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia.
Sedangkan Glock dan Stark
mendefiniskan agama sebagai simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem
perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai yang paling maknawi (Ultimate Meaning).[6]
Cliffort Geertz
mengistilahkan agama sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk
menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang
tahan lama dari dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai
suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam
pancaran faktualitas sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak
realistis.
Menurut Hadikusuma dalam
Bustaniddin Agus, agama adalah sebagai ajaran yang diturunkan oleh tuhan untuk
petunjuk bagi umat dalam menjalani kehidupannya. Ada juga yang menyebut agama
sebagai salah satu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti
bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berfikir dan pola-pola perilaku yang
memenuhi untuk disebut “Agama” yang terdiri dari tipe-tipe simbol, citra,
kepercayaan dan nilai-ilai spesifik dengan mana manusia menginterpretasikan
eksistensi mereka yang di dalamnya juga mendukung komponen ritual.
Menurut Anthony F.C dalam
buku antropologi William A Haviland mendefinisikan agama sebagai seperangkat
upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan
kekuatan-kekuatann supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk
menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam.
Menurut Aman, Grendy
Hendrastomo, dan Nur Hidayah, agama merupakan sistem terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan
mempersatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang dinamakan
umat.
Secara sederhana
pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan
sudut isltilah (terminologi). Mengartikan agama dari sudut pandang
kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut
pandang istilah karena subjektivitas dari orang yang mengartikannya.
Pengetian agama dari segi
bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution.
Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia dari kata agama, dikenal pula kata din
yang berasal dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau
kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya
dikatakan lagi bahwa agama berarti tuntutan. Pengertian ini tampak
menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai tuntutan bagi kehidupan manusia.[7]
Selanjutnya din dalam
bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan.
Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat
peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi penganut agama
yang bersangkutan. Selanjutnya agama juga menguasai diri seseorang dan membuat
ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama
lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh para penganutnya. Paham
kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan.
Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan
mendapatkan balasan yang baik dari Tuhan. Sedangkan orang yang tidak menjalankan
kewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan yang
menyedihkan.[8]
Selanjutnya kata religi
berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution
mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegere yang mengandung arti
mengumpulkan dan membaca. Pengertian itu sejalan dengan isi agama yang
mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab
suci yang harus di baca. Tetapi menurut pendapat lain, religi berasal dari kata
religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai
sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan
antara roh manusia dengan Tuhan, dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat
manusia dengan Tuhan.[9]
Dari beberapa definisi
tersebut, akhirnya Harun Nasution menyimpulkan bahwa intisari yang terkandung
dalam istilah-istilah di atas adalah ikatan. Agama memang mengandung arti
ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh
besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari
suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera.
Adapun pengertian agama
dari segi istilah dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nottingham
dalam bukunya Agama dan Masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gejala
yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha
kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut, Nottingham mengatakan bahwa
agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan
khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang
yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan
batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Sementara itu
Durkheim mengatakan bahwa agama adalah pantulan dari solidaritas sosial. Bahkan
kalau dikaji, katanya, Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat.
Kemudian kaum sosiolog
mendefinisikan agama dari kenyataannya yang bersifat lahiriah dan bukan
dari aspek batiniahnya. Pengertian agama yang dibangun oleh kaum sosiolog
bertolak dari das sein, yakni agama yang dipraktikkan dalam kenyataan
empirik yang terlihat, dan bukan berangkat dari aspek das sollen, yakni
agama yang seharusnya dipraktikkan dan secara normatif teologis sudah pasti
baik adanya. Agama dalam kenyataan empirik ini bisa jadi berbeda dengan agama
yang terdapat pada aspek batinnya yang bersifat substantif. Kita mengetahui
bahwa substansi dan misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil dalam
bentuk yang nyata, bisa dikenali manusia, dan lebih jauh lagi adalah bahwa
dengan bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan operasional.[10]
Hubungan antara substansi
agama dengan bentuknya yang tampil dalam kenyataan lebih lanjut menjadi bahan
kajian kaum perenialis. Pendekatan perennial terhadap agama, apa pun namanya,
selalu menghubungkan dengan substansinya, yaitu inti ajaran agama yang keberadaannya
berada di balik bentuk formanya. Substansi ini bersifat transenden tetapi juga
sekaligus imanen. Ia transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan dan
tidak terjangkau kecuali melalui predikat atau bentuk formanya yang lahiriah.
Namun begitu, agama juga bersifat imanen karena sesungguhnya hubungan antara
predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau saja substansi agama
bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial
hanyalah satu. Ia bersifat perennial, tidak terbatas karena ia merupakan
pancaran dari yang mutlak. Ibarat air, substansinya adalah satu tetapi bisa
saja kehadirannya mengambil bentuk berupa lautan, uap, mendung, hujan, sungai,
kolam, embun dan lain sebagainya.[11]
Kemudian Schoun
mengatakan, “bahwa setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi.”
Bentuk agama adalah relatif, namun di dalamnya terkandung muatan substansi yang
mutlak. Karena agama merupakan gabungan antara substansi dan bentuk, maka agama
kemudian menjadi sesuatu yang absolut tetapi sekaligus relatif, yakni absolut
substansinya dan telatif bentuknya. Dengan demikian, definisi agama yang
dikemukakan para sosiolog termasuk ke dalam definisi yang bersifat relatif
dilihat dari segi bentuknya, sedangkan absolut dilihat dari segi substansi yang
terkandung di dalamnya.[12]
Selanjutnya, Harun
Nasution mengatakan bahwa agama dapat diberi definisi sebagai berikut :
- Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
- Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
- Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
- Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
- Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
- Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
- Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
- Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Dari beberapa definisi
tersebut, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi karakteristik agama sebagai
berikut :
Pertama, unsur
kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil
bentuk yang bermacam-macam. Dalam agama primitif, kekuatan gaib tersebut dapat
mengambil bentuk benda-benda yang memiliki kekuatan misterius (sakti), ruh atau
jiwa yang terdapat pada benda-benda yang memiliki kekuatan misterius; dewa
Tuhan atau Allah dalam istilah yang lebih khusus dalam agama Islam.
Kedua, unsur
kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di
akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib
yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan yang baik itu, kesejahteraan dan
kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungan baik ini selanjutnya
diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingat-Nya, melaksanakan segala
perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketiga, unsur
respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil
bentuk rasa takut, seperti yang terdapat pada agama primitif, atau perasaan
cinta seperti yang terdapat pada agama-gama monoteisme. Selanjutnya, respon
tersebut dapat pula mengambil bentuk penyembahan seperti yang terdapat pada
agama-agama monoteisme dan pada akhirnya respon tersebut mengambil bentuk dan
cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat, unsur
paham adanya kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam
bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan,
tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara, dan
sebagainya.
Dari uraian tersebut kita
dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari
Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun
temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi
tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang
selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup
tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib
tersebut.
Dari kesimpulan tersebut
dapat dijumpai adanya 5 aspek yang terkandung dalam agama, antara lain sebagai
berikut:
1.
Aspek asal-usulnya. Yaitu adanya yang
berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran
manusia seperti agama ardli atau agama kebudayaan.
2.
Aspek tujuannya. Yaitu untuk memberiktan
tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat.
3.
Aspek ruang lingkupnya. Yaitu keyakinan
akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia
ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan
kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci.
4.
Aspek permasyarakatannya. Yaitu disampaikan
secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain.
5.
Aspek sumbernya. Yaitu kitab suci.
Kata “ras” berasal dari bahasa Prancis-Italia “razza” yang
artinya pembedaan variasi penduduk berdasarkan tampilan fisik (bentuk dan warna
rambut, warna mata, warna kulit, bentuk mata, dan bentuk tubuh. Umumnya ras
dibagi menjadi 3: mongoloid, kaukasian dan negroid.[13]
Ada juga yang mengartikan Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar")
adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk
mengkategorikan manusia dalam populasi atau kelompok besar dan berbeda melalui ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang
jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal abad ke-20
istilah ini sering digunakan dalam arti biologis untuk menunjuk populasi manusia
yang beraneka ragam dari segi genetik dengan anggota yang memiliki fenotipe (tampang luar) yang sama. Arti
"ras" ini masih digunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisa sisa tulang),
penelitian biomedis dan kedokteran berdasarkan asal-usul.
Selain itu pengertian ras kadangkala mengacu pada pemilikan
perangai, pemilikan kualitas perangai/sikap kelompok tertentu, menyatakatan kehadiran
penduduk dari geografis tertentu. Bisa juga ras mengacu pada tanda-tanda
aktivitas sebuah kelompok yang mempunyai gagasan, ide dan cara berpikir
tertentu. Ras juga sering dikaitkan dengan masalah keturunan, keluarga,klan dan
hubungan kekeluargaan sebuah kelompok.[14]
Tapi secara umum Ras adalah pengelompokan berdasarkan cirri
biologis, bukan berdasarkan cirri-ciri sosiokultural. Dengan kata lain, ras
berati segolongan penduduk suatu daerah yang mempunyai sifat-sifat keturunan
tertentu berbeda dengan penduduk daerah lain.
A.L. Krober membagi ras di dunia menjadi:
1.
Ras Mongoloid (Berkulit Kuning), yaitu penduduk asli wilayah Eropa,
sebagian Afrika, dan Asia. Mereka bisa dibagi menjadi: Asiatic Mongoloid,
Malayan Mongoloid, American Mongoloid.
2.
Ras Negroid (Berkulit Hitam), yaitu penduduk asli wilayah Afrika dan
sebagian Asia. Mereka bisa dibagi menjadi: African Negroid, Negroto, Melanesian
3.
Ras Kaukasoid (Kulit Putih), yaitu penduduk asli wilayah Eropa, sebagian
Afrika, dan Asia. Mereka bisa dibagi menjadi: Nordic,Alpine, Mediteranian,
Indic.
4.
Ras Khusus Yang Tidak Dapat Diklasifikasikan, ras ini antara lain : Bushman,
Veddoid, Australoid, Polynesian, Ainu.[15]
2.1.5. Definisi Antar Golongan
Anantomi atau Antar golongan
dalam SARA bisa diartikan sebagai berikut :
v Max Weber mengatakan
bahwa golongan adalah “Suatu Kumpulan
Manusia Dalam Satu Wadah Kemasyarakatan”
v Kamus Besar Bahasa Indonesia,
golongan adalah “Golongan Masyarakat
Dalam Satu Wilayah Yang Lebih Menonjolkan Identitas Dari Jenis Mereka”
SARA adalah
berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang
menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap
tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan
pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan
ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat
pada manusia.[16]
SARA Dapat Digolongkan
Dalam Tiga Katagori :
1.
Kategori pertama yaitu Individual
: merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat
menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun
golongan.
2.
Kategori kedua yaitu Institusional
: merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara,
baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah
membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
3.
Kategori ke tiga yaitu Kultural :
merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur
budaya masyarakat.[17]
Dalam
pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan
yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini
disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika
seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku,
antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi
fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau
kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis
kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi
diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, antargolongan) di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca: Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural.[18]
SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, antargolongan) di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca: Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural.[18]
SARA, khususnya
agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati
sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu utama"
pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi
"limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan
sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu
etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA. Sebagai contoh, kebetulan
etnik Cina atau suku Makasar dan Madura mampu bersaing dalam penguasaan sumber
alam, maka merekalah yang dijadikan tumpuan kemarahan suku yang merasa kehilangan
penguasaan sumber alamnya.[19]
Kita memang
perlu melihat masalah SARA dari perspektif lain, yakni perspektif
ketidakseimbangan antara suku dalam akses mereka pada sumber alam dan
faktor-faktor pada tingkat makro lain, seperti belum terciptanya birokrasi yang
secara politis netral. Perspektif seperti ini akan melihat masalah sebenarnya
yang kini dihadapi bangsa ini, karena SARA hanya merupakan "limbah"
masalah dasar itu, serta wahana mobilisasi masyarakat, guna menarik perhatian
pemerintah untuk menyelesaikan masalah dasar tersebut. Indonesia memang perlu
perubahan apabila ingin memasuki abad ke-21 dengan utuh sebagai suatu bangsa.[20]
SARA tak akan
mampu memicu terjadinya suatu ketegangan apabila tak terkait dengan faktor struktural
yang ada dalam masyarakat. Singapura dan Malaysia adalah negara multietnik dan
multibudaya, namun hubungan antaretnik relatif harmonis. Hipotesis saya, karena
Pemerintah Malaysia dan Singapura -berserta aparaturnya- termasuk pemerintahan
yang bersih, baik dari segi ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua
pemerintahan itu bersih, maka keadilan pun terjamin.
Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan yang bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu, yang bekerja sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat memanfaatkan kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian menimbulkan masalah SARA atau sikap anti terhadap suku tertentu.
Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan yang bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu, yang bekerja sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat memanfaatkan kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian menimbulkan masalah SARA atau sikap anti terhadap suku tertentu.
Tapi kita perlu
memahami bahwa masalah tersebut muncul karena kelompok etnik itu mengalami
political insecurity dalam masyarakat, sehingga mereka perlu mencari security
melalui aliansi dengan aparatur pemerintah yang mengalami economic insecurity.
Gejala menarik
yang terjadi di negara kita, adanya satu birokrasi yang merupakan bagian suatu Organisasi
Sosial Politik (ORSOSPOL). Ketidaknetralan birokrasi itu dapat memancing
ketegangan sosial yang manifestasinya adalah pada tindakan SARA. Contohnya,
beberapa gejolak sosial pada Pemilu 1997, seperti terjadi di Pekalongan. Dalam
hal ini, kita dapat mendeteksi adanya political insecurity di kalangan
aparatur, yakni takut kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu kalah.
Political insecurity itu sering dimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat
overakting, yang dapat menimbulkan reaksi keras dari orsospol lain, yang pada
akhirnya menimbulkan tindakan SARA.[21]
Ada beberapa konflik di tanah air
ini yang sering dikaitkan dengan isu-isu SARA, diantaranya yang berhasil kami
dapatkan adalah sebagai berikut:
Ø
Konflik Poso
Ø
Konflik Sampit
Ø
Konflik Kaum Syi’ah Sampang
Ø
Konflik Ambon
Ø
Konflik Etnis Tionghoa
2.3.1. Perbedaan Individu, Yang
Meliputi Perbedaan Pendirian Dan Perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapat memicu konflik.
2.3.3. Perbedaan Kepentingan Antara
Individu Atau Kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian
maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya
perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon
ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka
pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan
ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena
perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang
memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati
sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan
wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan
mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya,
pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak
akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan
waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas
seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan
ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan
proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.[22]
Pasal
156 KUHP “barang siapa di depan umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau
lebih suku bangsa indonesia di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat
tahun) dengan hukuman denda setinggi-tingginya 450.000,00 (empat ratus lima
puluh ribu rupiah)”.
Pasal
157 Ayat 1 “barang siapa menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya
mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan di
antara atau terhadap golongan rakyat indonesia, dengan maksud supaya isinya
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam
bulan ”.
Pasal
28 Ayat 2 UU ITE “setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan ras, agama, suku, dan antar golongan (SARA). Ancaman pelanggar
pasal tersebut, yakni pidana penjara paling lama 6 (enam tahun) dan atau denda
paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah)”.
UUD
No 32 Tahun 2004 Pasal 78 Huruf B “dalam
kampanye dilarang menghina seseorang, agama, ras, suku, golongan, dan calon
kepala daerah atau wakil kepala daerah atau partai politik. ”.
Pasal
116 Ayat 2 “bagi tiap orang yang dengan
sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud
dalam pasal 78 Huruf B. Maka akan diancam dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga bulan) atau palin lama 18 (delapan belas bulan) dan atau denda paling
sedikit 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak 6.000.000,00
(enam juta rupiah)”
Ada beberapa solusi yang dapat kami berikan, yaitu
:
Ø
Nama :
Quraisyi
NIM :
120210302003
Konflik antar Etnis atau SARA
tidak akan pernah terjadi jika Ekonomi kuat, artinya kesejahteraan rakyat lebih
diperhatikan, agar rakyat bisa makmur dengan segala fasilitas dan berkembangnya
Ekonomi Nasional
Ø
Nama :
Misbahul Ulum
NIM :
120210302002
Konflik antar Etnis atau SARA
tidak akan pernah terjadi jika pemerintah bisa mensosialisasikan sifat
kerukunan antar agama, suku, golongan, dan ras. Yang nantinya masyarakat bisa memahami dan bisa saling
menghargai serta menghormati satu sama lainnya.
Ø
Nama : Maulida
Mukarramah
NIM :
120210401012
Kita dapat
mencegah SARA menjadi sumber kerawanan dengan menempuh beberapa cara. Pertama,
dalam membangun perekonomian harus secara tegas ditempuh pendekatan Affirmative Action, yakni memberi
kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk berkembang. Kedua,
pemerintah harus menciptakan aparatur pemerintah yang netral dari segi politis.
Korpri harus dianggap sebagai organisasi profesional pegawai negeri sipil,
bukan mesin perolehan suara dalam pemilu. Ketiga, menciptakan pemerintahan yang
bersih dari segala jenis kecurangan
Ø
Nama : Alfiyatus Solicha
NIM :
120210204145
Solusi untuk menghindari sebuah
konflik antar etnis yaitu dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan diantaranya
adalah :
1.
Melakukan kerja sama dalam masalah sosial atau
kemanusiaan dari masing-masing umat beragama.
2.
Sering diadakannya dialog antar umat bergama secara
intensif agar tercipta salinng pengertian antar agama, saling pengertian itu
akan memungkinkan antar kelompok umat beragama saling menghormati.
3.
Keadaan itu akan menumbuhkan dan mengembangkan
sikap toleransi serta mempererat kerukunan antar umat beragama. Ini akan
membutuhkan partisipasi dari jutaan orang yang sama-sama menjadi lebih sadar
dan lebih peduli
Ø
Nama : Anggy Risky Dwi Putra
NIM : 120210204160
Solusi kita agar tidak terjadi
SARA ialah kita harus mempelajari dan memahami multi-kultural Indonesia,
keberadaan kita telah dikodratkan berdiri di atas keberagaman budaya. Karena masing-masing
budaya mempunyai masyarakat dan penganut sendiri, maka dengan sendirinya juga
mempunyai keberagaman sosial.
Di zaman globalisasi ini
sekarang, keberagaman ini bisa mendatangkan dua persoalan yang saling
berkebalikan. Salah satunya dari sisi globalisasi adalah kebebasan informasi,
kita di Indonesia sekarang sudah mengakui keterbukaan, tidak saja pada bidang
politik juga pada bidang sosial. Misalnya, mengeksplorasi seni, ide dan
kebijakan berlandaskan berbagai kultural yang ada di Indonesia, apabila hal ini
dikomunikasikan secara bebas, sudah pasti akan memicu adanya ketegangan,
ketersinggungan dari pihak lain. Kita merasakan hal seperti ini di Indonesia,
terutama menjelang reformasi tahun 1998 dan dalam beberapa tahun terakhir
berbagai konflik SARA yang pernah terjadi di Indonesia disebabkan oleh fenomena
kesempitan pandangan tersebut. Sebagai sebuah negara, tentu kita tidak tega
apabila kita mengalami kehancuran hanya gara-gara persoalan sempit seperti itu,
maka. Sudah sejak awal harus ada mekanisme memadamkan dan menghilangkan
persolan tersebut. Dalam konteks sosial politik, sesungguhnya Indonesia telah
mempunyai alat yang bagus dan kualifed, yaitu pancasila. Jika kita memahami
makna pancasila, semua persoalan bangsa dan negara akan mampu dijawab. Dasar
negara ini benar-benar telah menyediakan pemikiran dan bentuk solusi apabila
ada masalah kenegaraan karena didalamnya mengandung pengakuan terhadap
keberagaman. Kita berharap cara ini mampu memberikan satu solusi kedepan
terhadap berbagai persoalan SARA di Indonesia. Kita erharap Indonesia tetap
mampu menyimpan kekayaan tersebut dengan baik.
Ø
Nama : Devita Agya Arfianti
NIM : 120210401102
Untuk mencegah terjadinya konflik
SARA adalah dengan melakuka sosialisasi akan pentingnya kerukunan antar warga.
Dengan begitunya diharapkan akan menghasilkan warga / masyarakat yang saling
menghargai dan menghormati satu sama lainnya.
Ø
Nama : Shinta Norma Rosadia
NIM : 120710101069
Ada beberapa cara untuk
menanggulangi tejadinya konflik yang mengatas-namakan SARA, yaitu :
1.
Saling mempercayai satu sama lain
2.
Saling memberikan toleransi pendapat dan mudah
memaafkan kesalahan
3.
Memiliki jiwa tenggang rasa antar sesama
4.
Harus menindak tegas para pelanggar HAM
5.
Memberikan perlindungan terhadap kelompok kecil
Ø
Nama : Alfi Yudhistira Arraafi
NIM : 120710101126
Agar konflik SARA tidak terjadi
adalah berteman dengan orang yang berbeda latar belakangnya dengan kita, agar
dengan hal tersebut kita bisa memupuk dan mengembangkan jiwa dan semangat
nasionalisme serta rasa kebersamaan antar pihak lain. Lingkungan kampus dan
kaum muda diharapkan menjadi pemecah kebuntuan konflik sehingga perbedaan bisa
dijembatani dengan berkomunikasi secara rutin sehingga terjalin rasa
persaudaraan yang erat.
Ø
Nama : Ahmad Fatih
NIM : 12071010
Alternative untuk penanggulangan
SARA yaitu “institusi pendidikan sebenarnya alat terpenting untuk penanaman
nilai-nilai yang bersifat integratif, karena institusi ini dapat dikendalikan
oleh pemerintah melalui UU atau kebijakan nasional”.
Ø
Nama : Ibnu Editya Kesuma
NIM : 120710101339
Sebagai institusi yang mewadahi
semua aliran islam di indonesia, semua ulama’ Majelis Ulama Indonesia
(MUI)-dari tingkat daerah sampai pusat- harus bersikap arif, seiya, sekata
dalam menyikapi fenomena keumatan, serta berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa.
Jangan sampai fatwa yang dikeluarkan menimbulkan keresahan di tengah-tengah
masyarakat karena berpotensi dijadikan legitimasi oleh kelompok tertentu untuk
memberangus kelompok yang lain.
Ø
Nama : Mohammad Rizky Izzudin
NIM : 120710101340
Konfik SARA tidak akan terjadi
jika konsep pancasila yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, benar-benar dihayati dan
diamalkan. Agar kepercayaan, kerukunan dan saling menghormati satu sama lainnya
bisa diwujudkan.
Dari uraian di atas apat diambil beberapa kesimpulan bahwa :
Ø
SARA adalah berbagai pandangan
dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan,
agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan
kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan
golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan
melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.
Ø
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik
yaitu :
1.
Perbedaan Individu
2.
Perbedaan Latar belakang budaya
3.
Perbedaan Kepentingan
4.
Perubahan-perubahan nilai dan budaya yang cepat
Saran yang dapat kami berikan yaitu :
Ø Untuk Pemerintah,
“Sejahterakan Rakyat, dengan memajukan Ekonomi, Pembangunan, dan Keadilan”
Ø Untuk Mahasiswa, “Toleransi
dan HAM harus terus ditegakkan”
v
Abdullah, Taufik. (1974). “Pemuda dan Perubahan Sosial”, Jakarta, LP3ES.
v
Bachtiar, Harsya W. (1976), “Masalah Integrasi Nasional di Indonesia”, Jakarta, Prisma LP3ES.
v
Budiman, Arif. (1985), “Pemuda dan Sosialisasi”, Lokakarya Penyusunan Kumpulan Minimal
Bahan Peragaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar Universitas Brawijaya, Malang,
Tanggal 21-27 Januari 1985.
v
Hasan, Fuad. (1975), “Kita dan Kami, An Analysis of the Basic Modes of Togetherness”, Jakarta.
Bhratara.
v
Mantra, Ida Bagus. (1980), “Beberapa Masalah Penduduk di Indonesia dan Akibatnya di Bidang Sosial
Ekonomi”, Prisma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar