Rabu, 26 Juni 2013

Karakteristik Individu


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang Masalah
Perbedaan individu penting dibahas dan dipahami oleh pendidik agar para pendidik bisa memahami perbedaan dari asing-masing peserta didik. Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga sering timbulnya permasalahan akibat perbedaan itu. Permasalahan ini kita akan mengetahui berbagai macam perbedaan individu, diantaranya perbedaan kognitif, perbedaan kecakapan bahasa, perbedaan kecakapan motorik, perbedaan latar belakang, perbedaan bakat, perbedaan kesiapan belajar, perbedaan tingkat pencapaian, perbedaaan lingkungan keluarga, latar belakang budaya dan etnis, dan faktor pendidikan.
Perkembangan zaman menimbulkan perubahan dan kemajuan dalam masyarakat. Aspek perubahan meliputi: sosial, politik, ekonomi, industri, informasi dsb. Akibatnya ialah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh individu, misalnya, pengangguran, syarat-syarat pekerjaan, penyesuaian diri, jenis dan kesempatan pendidikan, perencanaan dan pemilihan pendidikan, masalah hubungan sosial, masalah keluarga, keuangan, masalah pribadi, dsb. Walaupun pada umumnya masing-masing individu berhasil mengatasi dengan sempurna, sebagian lain masih perlu mendapatkan bantuan.
1.2.  Rumusan Masalah
1.2.1.      Apa pengertian dari Individu ?
1.2.2.      Apa saja perbedaan Individu ?
1.2.3.      Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perbedaan individu ?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      Individu dan Karakteristiknya
2.1.1.      Pengertian Individu
“Manusia” adalah makhluk yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang. Sejak ratusan tahun sebelum Isa, manusia telah menjadi salah satu objek filsafat, baik objek formal yang mempersoalkan manusia sebagai apa adanya manusia dengan berbagia kondisinya. Sebagaimana dikenal adanya manusia sebagai makhluk yang berpikir atau homo sapiens, makhluk yang berbuat atau homo faber, makhluk yang dapat dididik atau homo educandum dan seterusnya. Kini bangsa Indonesia telah menganut suatu pandangan, bahwa yang dimaksud dengan manusia secara utuh adalah manusia sebagai pribadi yang merupakan pengejawantahan manunggalnya berbagai berbagai ciri atau karakter hakiki atau sifat kodrati manusia yang seimbang antar berbagai segi, yaitu antara segi (i) individu dan sosial, (ii) jasmani dan rohani, dan (iii) dunia dan akhirat. Keseimbangan hubungan tersebut menggambarkan keselarasan hubungan antara manusia dengan dirinya, manusia dengan sesame manusia, manusia dengan alam sekitar atau lingkungannya, dan manusi dengan Tuhan.[1]
Dalam kaitannya dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan hakekat manusia sebagai kesatuan sifat makhluk individu dan makhluk sosial. Individu berasal dari kata latin, “individuum” yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dapat untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan. Dalam kamus Echols & Shadaly (1975), individu adalah kata benda dari individual yang berarti orang, perseorangan, dan oknum. Individu menurut konsep Sosiologis berarti manusia yang hidup berdiri sendiri. Individu sebagai mahkluk ciptaan Tuhan di dalam dirinya selalu dilengkapi oleh kelengkapan hidup yang meliputi raga, rasa, rasio, dan rukun.[2]
Individu tidak akan jelas identitasnya tanpa adanya suatu masyrakat yang menjadi latar belakang keberadaanya. Individu berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk membentuk perilakunya yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang sesuai dengan perilaku yang telah ada pada dirinya. Manusia sebagai individu salalu berada di tengah-tengah kelompok individu yang sekaligus mematangkannya untuk menjadi pribadi yang prosesnya memerlukan lingkungan yang dapat membentuknya pribadinya. Namun tidak semua lingkungan menjadi faktor pendukung pembentukan pribadi tetapi ada kalanya menjadi penghambat proses pembentukan pribadi.[3]
Pengaruh lingkungan masyarakat terhadap individu dan khususnya terhadap pembentukan individualitasnya adalah besar, namun sebaliknya individu pun berkemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Kemampuan individu merupakan hal yang utama dalam hubungannya dengan manusia.
Manusia sebagai makhluk individu adalah bahwa manusia itu merupakan keseluruhan atau totalitas yang tidak dapat dibagi. Maksudnya, manusia tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan raganya, rohani dan jasmani. Setiap manusia memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti bakat, minat, kebutuhan sosial – emosional - personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pengajaran, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara utuh menjadi manusia dewasa atau matang.[4]
Sejak lahir, bahkan sejak masih di dalam kandungan ibunya, manusia merupakan kesatuan psikofisis atau psikosomatis yang tetrus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan itu merupakan sifat kodrat manusia yang harus mendapat perhatian secara saksama.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, manusia mempunyai kebutuhan – kebutuhan. Pada awal kehidupannya bagi seorang bayi mementingkan kebutuhan jasmaninya, ia belum peduli dengan apa saja yang terjadi diluar dirinya. Ia sudah senang bila kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi. Dalam perkembangan selanjutnya maka ia akan mulai mengenal lingkungannya, membutuhkan alat komunikasi (bahasa), membutuhkan teman, keamanan dan seterusnya. Semakin besar anak tersebut semakin banyak kebutuhan non fisik atau psikologis yang dibutuhkannya.
2.1.2.      Karakteristik Individu
Karakteristik individu itu sendiri adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada individu sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungannya. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu, terdapat keyakinan serta kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan. Hal tersebut merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor yang terpisah, masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi, makin disadari bahwa apa yang dirasakan oleh banyak anak, remaja, atau dewasa merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada di antara faktor -faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan.[5]
Nature dan Nurturmerupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik - karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan. Nature (alam, sifat dasar) adalah karakteristik yang dimiliki setiap individu dari sejak dia kecil. Nurture (pemeliharaan, pengasuhan) adalah karakteristik yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Sejauh mana seseorang dilahirkan menjadi seorang individu atau sejauh mana seseorang dipengaruhi subjek penelitian dan diskusi. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap, sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.[6] Mengenai karakteristik individu, ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.     Karakteristik yang berkenaan dengan kemampuan awal (prerequisite skills), seperti kemampuan intelektual, berpikir, dan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikomotor.
2.     Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang dan status sosio - kultural.
3.     Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan kepribadian, seperti sikap, perasaan, minat, dan lainnya.
Pemahaman karakteristik ini sangat penting dalam proses belajar mengajar, sehingga bagi seorang guru informasi mengenai karakteristik individu sangat beguna dalam memilih dan menentukan pola-pola pengajaran yang lebih tepat, yang dapat menjamin kemudahan belajar bagi setiap peserta didik.[7]
2.2.      Perbedaan Individu
Dalam aspek perkembangan individu, dikenal ada dua fakta yang menonjol, yaitu :
(i)     semua diri manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan didalam pola perkembangannya, dan
(ii)   di dalam pola yang bersifat umum dari apa yang membentuk warisan manusia – secara biologis dan sosial – tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda.
Perbedaan - perbedaan tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif.
            Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai orang perorangan atau perseorangan. Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang perseorangan, berkaitan dengan perbedaan individual perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ii disebut perbedaan individu atau perbedaan individual. Maka “perbedaan” dalam “perbedaan individual” menurut Landgren (1980) menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik maupun psikologis.[8]
Secara umum, perbedaan individual yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pengajaran dikelas adalah faktor – faktor yang menyangkut kesiapan anak untuk menerima pengajaran karena perbedaan tersebut akan menentukan sistem pendidikan secara keseluruhan. Perbedaan - perbedaan tersebut harus diselesaikan dengan pendekatan individualnya juga, tetapi tetap disadari bahwa pendidikan tidak semata-mata bertujuan untuk mengembangkan individu sebagai individu, tetapi juga dalam kaitannya dengan pola kehidupan masyarakat yang bervariasi.
2.2.1.      Bidang-Bidang Perbedaan
Dalam kaitannya dengan perbedaan individu hendaknya selalu diingat bahwa perbedaan dalam kualitas atau ciri – ciri adalah berjenjang. Tidak ada penggolongan anak – anak ke dalam satu kategori atau sama sekali tidak termasuk dalam suatu kategori.[9]
Garry 1963 (Oxendine, 1984) mengkategorikan perbedaan individual ke dalam bidang – bidang berikut:
1.      Perbedaan fisik: usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bertindak.
2.      Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, dan suku.
3.      Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
4.      Perbedaan inteligensi dan kemampuan dasar.
5.      Perbedaan kecakapan atau kepandaian di sekolah.
Dalam kehidupan setiap manusia berhubungan dengan manusia lain dan lingkungan di luar dirinya. Tiap manusia berhubungan dengan manusia lain, dengan sesamanya. Manusia juga berhubungan dengan Sang Pencipta atau dengan Tuhan-nya, maka manusia beragama. Manusia hidup berkelompok dan berkeluarga, sesuai dengan sifat dan genetic orang tuanya.[10]
Secara kodrati, manusia memiliki potensi dasar yang secara esensial membedakan manusia dengan hewan, yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak.
Adapun bidang – bidang dari perbedaannya, yakni:
a.      Perbedaan Kognitif
Menurut Bloom, proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, menghasilkan 3 pembentukan kemampuan yang dikenal sebagai taxonomy bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berarti ia menguasai segala sesuatu yang diketahui, dalam arti pada dirinya terbentu suatu persepsi, dan pengetahuan itu diorganisasikan secara sistematik untuk menjadi miliknya.[11]
Kemampuan kognitif menggambarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tiap – tiap orang. Pada dasarnya kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Proses belajr mengajar adalah upaya menciptakan lingkungan yang bernilai positif, diatur dan direncanakan untuk mengembangkan faktor dasar yang telah dimiliki oleh anak. Tingkat kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar.
Inteligensi (kecerdasan) sangat mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Antara kecerdasan dan nilai kemampuan kognitif berkolerasi tinggi dan positif, semakin tinggi nilai kecerdasan seseorang semakin tinggi kemampuan kognitifnya.

b.      Perbedaan Individual dalam Kecakapan Bahasa
Bahasa merupakan salah satu kemampuan individu yang sangat penting dalam kehidupan. Kemampuan tiap individu dalam berbahasa berbeda-beda. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang penuh makna, logis dan sistematis. Kemampuan berbahasa dangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor lingkungan serta faktor fisik (organ bicara).[12]
Banyak penelitian eksperimental telah dilakukan dengan tujuan untuk menemukan faktor – faktor  psikologis yang mendasari keberhasilan atau kegagalan dalam penguasaan bahasa. Individu – individu yang memasuki kegiatan – kegiatan di sekolah formal, pada dasarnya telah membawa kebiasaan – kebiasaan sebagai hasil belajar, baik dari lingkungan pendidikan prasekolah maupun dari latar belakang kehidupan sebelumnya.

c.       Perbedaan dalam Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik atau kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi gerakan syarat motorik yang dilakukan oleh syaraf pusat untuk melakukan kegiatan. Kegiatan – kegiatan tersebut terjadi karena kerja saraf yang sistematis.


 






Dari gambar di atas, saraf pusat (otak) yang melaksanakan fungsi sentral dalam proses berpikir merupakan factor penting di dalam koordinasi kecakapan motorik. Ketidaktepatan dalam pembentukan persepsi dan penyampaian perintah, akan menyebabkan terjadinya kekeliruan respon dan atau kegiatan – kegiatan yang kurang sesuai dengan tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inteligensi merupakan faktor dalam bentuk yang lebih tinggi dari keterampilan motorik. Secara umum koordinasi motorik dan kecakapan untuk melakukan suatu kegiatan yang kompleks membutuhkan keterampilan motorik yang lebih kompleks pula.[13]
Kemampuan motorik dipengaruhi oleh kematangan pertumbuhan fisik dan tingkat kemampuan berpikir. Karena kematangan pertumbuhan fisik dan kemampuan berpikir setiap orang berbeda-beda, maka hal itu membawa akibat terhadap kecakapan motorik masing – masing, dan dengan demikian kecakapan motorik setiap individu akan berbeda -beda pula.[14]

d.      Perbedaan dalam Latar Belakang
Dalam suatu kelompok siswa, perbedaan latar belakang dan pengalaman mereka masing – masing dapat memperlancar atau menghambat prestasinya, terlepas dari potensi individu untuk menguasai bahan pelajaran.
Minat dan sikap individu terhadap sekolah dan mata pelajaran tertentu, kebiasaan – kebiasaan kerja sama, kecakapan atau kemauan untuk berkonsentrasi pada bahan – bahan pelajaran, dan kebiasaan – kebiasaan belajar semuanya merupakan  faktor – faktor perbedaan antara para siswa.[15]
e.       Perbedaan dalam Bakat
Bakat merupakan kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut akan berkembang dengan baik apabila mendapatkan rangsangan den pemupukan secara tepat. Sebaliknya bakat tidak dapat berkembang sama sekali, manakala lingkungan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang, dalam arti tidak ada ransangan dan pemupukan yang menyentuhnya.
Perkembangan bakat dimiliki siswa secara individual. Meskipun inteligensi umum merupakan faktor dari hamper semua atau bahkan semua bidang penampilan atau performasi, namun hasil tes inteligensi yang selama ini dilaksanakan beum terkait dengan beberapa bidang belajar seperti keterampilan motorik, musik, seni, dan olah raga. Hasil tes inteligensi lebih banyak berhubungan dengan keberhasilan atau kemampuan bidang akademik.
f.        Perbedaan dalam Kesiapan Belajar
Perbedaan latar belakang keluarga dan lingkungan, yang meliputi perbedaan sosio-ekonomi dan sosiokultural, amat penting artinya bagi perkembangan anak. Akibatnya, anak – anak pada umur yang sama tidak selalu berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam menerima pengaruh dari luar yang lebih luas, dalam hal ini pelajaran di sekolah.[16]
Kondisi fisik yang sehat, dalam kaitannya dengan kesehatan dan penyesuaian diri ang memuaskan terhadap pengalaman – pengalaman, disertai dengan rasa ingin tahu yang amat besar terhadap orang – orang dan benda – benda, membantu berkembangnya kebiasaan berbahasa dan belajar yang diharapkan. Sikap apatis, pemalu, dan kurang percaya diri, akibat dari kesehatan yang kurang baik, cacat tubuh, dan latar belakang yang miskin pengalaman, mempengaruhi perkembangan pemahaman dan ekspresi diri.
2.3.           Aspek-Aspek Pertumbuhan dan Perkembangan Individu
Dalam pembahasan materi ini, pertumbuhan diberi makna dan digunakan untuk menyatakan perubahan – perubahan fisik yang secara kuantitatif semakin besar dan atau panjang, sedangkan istilah perkembangan diberi makna dan digunakan untuk menyatakan terjadinya perubahan – perubahan aspek psikologis dan aspek sosial.[17]
Perkembangan - perkembangan dasar atau esensi dari lingkungan belajar - mengajar yang sehat adalah suasana belajar yang secara nyata dapat menumbuhkan munculnya perasaan yang terdapat antara siswa dan guru di dalam kelas. Perasaan - perasaan yang mendasari transaksi belajar mengajar tersebut tergantung pada peran guru dalam menciptakan situasi belajar yang kondusif dan sehat adalah situasi belajar yang dapat menumbuhkan perasaan dekat antara guru dan anak, merasa saling membutuhkan, saling menghargai, dan sebagainya. Dengan perasaan salaing memperhatikan yang terdapat antara guru dan anak dalam proses belajar mengajar, sikap guru yang merupakan cerminan perasaan yang melandasi transaksi belajar mengajar diantaranya adalah:
ü  Penerimaan (acceptance), sikap ini meliputi pengenalan dan pengakuan terhadap berbagai kemampuan dan keterbatasan mental, emosi, fisik, dan sosial yang dimiliki anak.
ü  Rasa aman, rasa ini merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu memperoleh pemenuhan sehingga dalam proses belajar mengajar diperlukan pula adanya rasa disayangi dan diterima oleh kelompok dan guru.
ü  Pemahaman akan adanya individualitas (differences), pemahaman pendidik bahwa tidak ada manusia yang sama serta perilaku siswa selalu bersifat unik menjadikan diperlukan kesabaran dalam menghadapi berbagai perilaku anak.
Setiap individu pada hakikatnya akan mengalami pertumbuhan dan fisik dan perkembangan nonfisik yang meliputi aspek – aspek intelek, emosi, social, bahasa, bakat khusus, nilai dan moral, serta sikap.
2.3.1.      Pertumbuhan Fisik
Pertumbuhan fisik adalah perubahan - perubahan fisik yang terjadi dan merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Perubahan - perubahan ini meliputi: perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, munculnya ciri-ciri kelamin yang utama  (primer) dan ciri kelamin kedua (sekunder). Penyebab perubahan pada masa remaja adalah adanya dua kelenjar yang menjadi aktif bekerja dalam sistem endokrin. Endokrin adalah kelenjar yang tidak mempunyai saluran untuk mengalirkan hasil sekresi (pengeluaran hasil kelenjar atau sel secara aktifnya.[18]
Pertumbuhan manusia merupakan perubahan fisik menjadi lebih besar dan lebih panjang, dan prosesnya terjadi sejak anak sebelum lahir hingga ia dewasa.
a.      Pertumbuhan Sebelum Lahir
Manusia itu ada dimulai dari suatu proses pembuahan (pertemuan set telur dan sperma) yang membentuk suatu set kehidupan, yang disebut embrio. Embrio manusia yang telah berumur satu bulan, berukuran sekitar setengah sentimeter. Pada umur dua bulan ukuran embrio itu membesar menjadi dua setengah sentimeter dan disebut janin atau "fetus". Baru setelah satu bulan kemudian (jadi kandungan telah berumur tiga bulan), janin atau fetus tersebut telah berbentuk menyerupai bayi dalam ukuran kecil. Masa sebelum lahir merupakan pertumbuhan dan perkembangan manusia yang sangat kompleks, karena pada masa itu merupakan awal terbentuknya organ - organ tubuh dan susunan jaringan saraf membentuk sistem yang lengkap. Pertumbuhan dan perkembangan janin diakhiri saat kelahiran. Kelahiran pada dasarnya merupakan pertanda kematangan biologis dan jaringan saraf masing - masing komponen biologis mampu berfungsi secara mandiri.
b.      Pertumbuhan Setelah Lahir
Pertumbuhan fisik manusia setelah lahir merupakan lanjutan pertumbuhannya sebelum lahir dan berlangsung sampai masa dewasa. Selama tahun pertama dalam pertumbuhannya, ukuran panjang badannya akan bertambah sekitar sepertiga dari panjang badan semula dan berat badannya akan bertambah menjadi sekitar tiga kalinya. Sejak lahir sampai dengan umur 25 tahun, perbandingan ukuran badan individu, dari pertumbuhan yang kurang proporsional pada awal terbentuknya manusia sampai dengan proporsi yang ideal di masa dewasa. Dapat dilihat pada gambar berikut.







manusia.jpg


pertumbuhan_anak.jpg




Untitled-2 copy.jpg
 














Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap bagian fisik seseorang individu akan terus mengalami perubahan karena pertumbuhan, sehingga masing – masing komponen tubuh akan mencapai tingkat kematangan untuk menjalankan fungsinya. Jaringan saraf otak atau saraf sentral akan tumbuh dengan cepat karena saraf pusat itu akan menjadi sentral dalam menjalankan fungsi jaringan saraf di seluruh tubuh manusia.
Pertumbuhan fisik manusia berbeda dengan pertumbuhan fisik pada hewan. Pada aal setelah bayi itu dilahirkan, respon terhadap segala ransangan dari luar dirinya dilakukan secara refleks dan belum terkoordinasi. Respon yang bersifat refleks ini akan berakhir atau menjadi lebih terarah apada sasaran saat bayi berumur 4 sampai 5 bulan.[19]
Kapasitas saraf sensoris seorang bayi sangat berbatas. Bai yang baru lahir pendengarannya amat baik dan penglihatannya masih lemah. Begitu pula saraf sensoris yang lain seperti perabaan, penciuman, dan pencernaan berkembang sejalan dengan saraf penglihatan. Perkembangan fungsi saraf sensoris semakin sempurna dan lengkap, sehingga anak mampu menginterpretasikan apa yang ia lihat, dengar, sentuh, dan rasakan. Semua ini merupakan potensi yang berfungsi bagi terbentuknya pengetahuan seseorang.
Pertumbuhan dan perkembangan fungsi biologis setiap orang memiliki pola dan urutan yang teratur. Pola dan urutan pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisik ini di ikuti oleh perkembangan kemampuan mental spiritual dan perkembangan sosial.
Pertumbuhan fisik anak di bagi menjadi empat periode utama, dua periode di tandai dengan pertumbuhan yang cepat dan dua periode lainnya di cirikan oleh pertumbuhan yang lambat.[20]
Menurut Muhammad Syafi,I di kutip dari Prof. Dani Al Hafiz, secara garis besar tumbuh kembang dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
Ø  Tumbuh kembang fisik; meliputi perumahan dalam ukuran besar dan fungsi individu.
Ø  Tumbuh kembang intelektual; meliputi kepandaian komunikasi, bermain, berhitung dan membaca.
Ø  Tumbuh kembang emosional; meliputi kemampuan membentuk ikatan batin, berkasih sayang, menangani kegelisahan, mengelola sifat agresif/marah.
Perlu diingat bahwa pertumbuhan dan perkembangan setiap individu bersifat unik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor genetik (faktor bawaan), lingkungan (baik itu biologis ataupun psikologis) dan perilaku (keadaan/perilaku pada keluarga). Agar pertumbuhan dan perkembangan anak optimal, harus diperhatikan:
Ø  Lingkungan; harus mendukung kesehatan biologis dan psikologis anak
Ø  Gizi; harus cukup dan seimbang
Ø  Keteraturan ke pelayanan kesehatan; meliputi pemberian imunisasi
Ø  Istirahat dan tidur; harus cukup, hindari kelelahan.

2.3.2.      Intelek
Menurut Wechler merumuskaan intelektual/intelligensi sebagai "keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Intelegensi/intelektual bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendiskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual”.( Dani, 2008) . Perkembangan dapat diartikan ”suatu proses perubahan pada diri individu atau organisme, baik fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis progresif, dan berkesinambungan” (Syamsu Yusuf: 83). Dan semua para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, namun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki. (Ani Cahyadi, Mubin, 2006 : 21-22).
Hubungannya dengan intelektual remaja bahwa inteligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatui fiksi ilmiah untuk mendeskripsiskan prilaku induvidu yang berkaitan dengan kemampuan intelektualnya. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam. Diantaranya menurut C.P. Chaplin (1975) mengartikan inteligensi itu sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif (Syamsu Yusuf).
Intelek atau daya pikir berkembang sejalan dengan pertumbuhan saraf otak. Karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak, maka kemampuan intelektual yang lazim atau kemampuan berpikir, dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya secara baik.
Perkembangan lebih lanjut tentang perkembangan intelek ini ditunjukkan pada perilakunya, yaitu tindakan menolak dan memilih sesuatu. Tindakan itu berarti telah mendapatkan proses mempertimbangkan atau proses analisis, evaluasi sampai dengan kemampuan menarik kesimpulan dan keputusan. Perkembangan kemampuan berpikir ini dikenal sebagai perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget (Sarlito, 1991) mengikuti tahap – tahap sebagai berikut.
1.      Tahap pertama : Masa sensori motorik ( 0,0 - 2,5 tahun ).
Masa ketika bayi mempergunakan sistem pengindraan dan aktifitas motorik mengenal lingkungannya. Bayi memberikan reaks motorik atas rangsangan – rangsangan yang diterimanya dalam bentuk reflex. Reflex – reflex ini kemudian berkembang lagi menjadi gerakan – gerakan yang lebih canggi, misalnya berjalan.
2.      Tahap kedua : Masa pra-operasional (2,0 - 7,0 tahun).
Kemampuan anak menggunakan simbol yang mewakili suatu konsep. Kemampuan simbolik memungkinkan anak melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal-hal yang telah lewat.
3.      Tahap ketiga : Masa konkreto prerasional (7,0 - 11,0 tahun).
Melakukan berbagai macam tugas yang konkret.
a.       Identifikasi     : mengenali sesuatu
b.      Negasi             : mengingkari sesuatu
c.       Reprokasi        : mencari hubungan timbal balik antara beberapa hal.
4.      Tahap keempat : Masa operasional (11,0 - dewasa).
Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berfikir abstrak dan hipotesis, memperkirakan apa yang mungkin terjadi, dan mengambil kesimpulan.
Menurut Andi Mappiare (1982) hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelek itu antara lain:
1.      Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang sehingga ia mampu berpikir reflektif.
2.      Banyaknya pengalaman dan latihan - latihan memecahkan masalah sehingga seseorang bisa berpikir proporsional.
3.      Adanya kebebasan berpikir, menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis - hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan, dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
2.3.3.      Emosi
Rasa dan perasaan merupakan salah satu potensi yang khusus di miliki oleh manusia. Emosi merupakan gejala perasaan di sertai dengan perubahan atau perilaku fisik. Seperti marah yang di tunjukan dengan teriakan seorang yang gembira akan melonjak-lonjak sambil tertawa lebar, dan sebaliknya.[21]
Emosi yang terkait pada hal - hal yang bersifat fisiologis disebut sebagai emosi primer, biasanya berlangsung sejak bayi lahir hingga usia 6 bulan, dan mulai berkurang pada usia sekitar 1 tahun. Bentuk emosi primer adalah gembira, sedih, tidak suka, marah, terkejut dan takut. Emosi - emosi primer ini bisa di tampilkan dalam bentuk yang intens, kuat, atau bisa juga ditampilkan dalam bentuk yang sedang - sedang saja. Pada usia sekitar 1½ tahun yaitu setelah bayi mengenali bahwa diri berbeda dari orang lain maka bayi akan mengembangkan emosi yang sekunder, yaitu emosi yang terkait dengan kesadaran dirinya, disebut juga emosi yang dikaitkan dengan kehadiran orang lain. Emosi sekunder ini juga akan mengalami perkembangan. Pada awalnya bayi mengembangkan rasa empati (kalau melihat teman menangis, bayi ikut menangis), dia juga bisa merasa iri pada anak lain atau pada adik kalau sudah ada adik, selain itu bayi sudah bisa menunjukkan rasa malu. Empati, rasa iri dan rasa malu ini mulai berkembang sekitar usia 1½ hingga usia 2 tahun.
Selanjutnya hingga usia 2½ tahun bayi bisa mengembangkan rasa bangga akan diri, misalnya “Andi sekarang punya mobil baguuuusss sekali”. Bersamaan dengan itu ia juga mengembangkan rasa bersalah dan rasa malu. Emosi - emosi ini terkait dengan penilaian dia terhadap dirinya sendiri, karena disini anak mulai mengenali aturan aturan sosial yang berlaku dan ia juga mulai bisa menggunakan standar - standar atau aturan - aturan sosial yang berlaku di lingkungannya untuk menilai tingkah lakunya secara sederhana.
Contohnya, “Arisman usia 3 tahun, karena tidak bisa mengendalikan dirinya ketika marah pada teman, dia memukul teman hingga teman menangis. Orang tua Arisman sudah pernah memberi tahu pada Arisman bahwa memukul teman akan menyebabkan teman merasa kesakitan, jadi kalau teman melakukan kekeliruan sebaiknya teman itu diberi tahu ,jangan dipukul. Ketika melihat teman menangis, Arisman baru sadar bahwa dia melakukan kesalahan, muncul rasa bersalah pada Arisman”.
Para ahli juga mengungkapkan bahwa rasa aman dan nyaman yang terbina pada masa usia dini ini kelak akan membuat individu merasa bahwa lingkungan itu aman dan nyaman, bahwa orang lain bukanlah tokoh yang menakutkan. Rasa aman ini akan membuat anak lebih berani untuk melakukan penjelajahan kedalam lingkungannya, dan akan memperkaya khasanah pengalaman dalam pembentukan pribadi/individu kecilnya.[22]

2.3.4.      Sosial
Bayi lahir dalam keadaan yang sangat lemah. Ia tidak mampu hidup terus tanpa bantuan orang lain, terutama ibunya, jadi setiap orang membutuhkan orang lain. Dalam proses pertumbuhan setiap orang tidak dapat berdiri sendiri. Setiap manusia memerlukan lingkungan dan senantiasa akan memerlukan manusia lainnya. Akhirnya manusia mengenal kehidupan bersama, kemudian bermasyarakat atau berkehidupan sosial. Dalam perkembangannya setiap orang akhirnya mengetahui bahwa manusia itu saling membantu dan di bantu , memberi dan di beri.
Secara potensial (fitriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).
a)      Proses sosialisasi dan perkembangan sosial
Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi. Perkembangan sosial, dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan yang bersinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi rnakhluk sosial yang dewasa.
b)      Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson (Loree, 1970:87-89) mengidentifikasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia 5 - 16 tahun bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, yakni withdrawal - expansive, reactivity - placidity dan passivity - dominance. Kalau seseorang telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka cenderung diikutinya sampai dewasa.

2.3.5.      Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.  Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Tuhan Allah, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Bicara adalah bahasa suara, bahasa lisan dan perkembangan awal berbahasa lisan, bayi menyampaikan isi pikiran atau perasannya dengan tangis atau ocehan. Perkembangan lebih lanjut bayi yang berusia  6 - 9 bulan mulai berkomunikasi dengan satu kata atau dua kata. Dengan demikian seterusnya anak mulai mampu menyusun kalimat tiga kata untuk menyatakan maksud atau keinginannya. Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6 - 2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata.[23] Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a.       Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b.      Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c.       Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1)      Kritikan: “ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2)      Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.
3)      Menarik kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1.      Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa tubuhnya).
2.      Pengembangan Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia prasekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3.      Penyusunan Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai: “gesture” untuk melengkapi cara berpikirnya.
4.      Ucapan. Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dan orang lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf - huruf tertentu.
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut.
1.      Eqocentric Speech
2.      Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk:
a)      adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari,
b)      critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain,
c)      command (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman),
d)     questions (pertanyaan), dan
e)      answers (jawaban).

Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1.      Faktor Kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus - menerus, maka anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk memelihara perkembangan bahasa anak secara normal, orangtua perlu memper hatikan kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak atau secara reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.
2.      Inteligensi Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi normal atau di atas normal.
3.      Status Sosial Ekonomi Keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer & Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).
4.      Jenis kelamin (Sex). Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.
5.      Hubungan Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
2.3.6.      Bakat Khusus
Bakat merupakan kemampuan tertentu yang di miliki oleh seseorang individu yang hanya dengan rangsangan atau sedikit latihan kemampuan itu dapat berkembang.
Tiga dimensi bakat yang dikemukakan oleh Guilford :
(i)        dimensi perceptual
(ii)      dimensi psikomotorik
(iii)    dimensi intelektual
Seseorang yang berbakat akan cepat dapat di amati sebab kemampuan yang di miliki akan berkembang dengan pesat dan menonjol. Bakat khusus merupakan salah satu kemampuan untuk bidang tertentu seperti seni, olah raga, atau keterampilan.
Pemberian nama terhadap jenis - jenis bakat biasanya dilakukan berdasar atas bidang apa bakat tersebut berfungsi, seperti bakat matematika, bakat bahasa, bakat olah raga, bakat seni, bakat musik, bakat klerikal, bakat guru, bakat dokter, dan sebagainya. Dengan demikian, maka macam bakat akan sangat tergantung pada konteks kebudayaan di mana seseorang individu hidup dan dibesarkan. Kondisi - kondisi lingkungan  yang bersifat memupuk bakat anak adalah keamanan psikologis dan kebebasan psikologis. Anak akan merasa aman secara psikologis apabila:
a.       Pendidik dapat menerimanya sebagaimana adanya, tanpa syarat dengan segala kekuatan dan kelemahannya, serta kepercayaan padanya bahwa  pada dasarnya ia baik dan mampu.[24]
b.      Pendidik mengusahakan suasana di mana anak tidak merasa “dinilai” oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap seseorang dapat dirasakan sebagai ancaman, sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri.[25]
c.       Pendidikan memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku anak, dapat menempatkan diri dalam situasi anak dan melihat dari sudut pandang anak. Dalam suasana ini anak merasa aman untuk mengungkapkan bakatnya.
2.3.7.      Sikap, Nilai, dan Moral
Bloom mengemukakan bahwa tujuan akhir proses belajar di kelompokkan menjadi tiga sasaran yaitu:
a.       Penguasaan pengetahuan (kognitif)
b.      Pengiasaan nilai dan sikap (afektif)
c.       Penguasaan psikomotorik
Masa bayi belum mengenal moral, karena bayi belum mengenal nilai dan suara hati. Perilakunya belum di bimbing oleh norma - norma moral. Pada awalnya pengenalan moral, nilai dan perilaku serta tindakan itu masih bersifat paksaan akan tetapi sejalan dengan perkembangan inteleknya berangsur - angsur anak mulai mengikuti berbagai ketentuan yang berlaku di dalam kehidupannya.
























BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa :
3.1.1.      Individu adalah Kata benda dari individual yang berarti orang, perorangan, dan oknum (Kamus Echols & Shadaly)
3.1.2.      Perbedaan-Perbedaan Individu antara lain :
a.       Perbedaan Kognitif
b.      Perbedaan Kecakapan Bahasa
c.       Perbedaan Kecakapan Motorik
d.      Perbedaan Latar Belakang
e.       Perbedaan Bakat
f.       Perbedaan Kesiapan Belajar
g.      Perbedaan Tingkat Pencapaian
h.      Perbedaan Lingkungan Belajar
3.1.3.      Faktor-Faktor yang menyebabkan  terjadinya perbedaan individu dalam pendidikan adalah :
a.       Jenis Kelamin
b.      Pengaruh Keluarga
c.       Status Ekonomi
d.      Pengalaman Belajar Sebelumnya
e.       Kesesuaian bahan yang dipelajari
f.       Dan tekhnik-tekhnik belajar








DAFTAR PUSTAKA

Desmita, M.Si. (2005) "Psikologi Perkembangan Peserta Didik", Bandung, Remaja Rosdakarya.
Djaali, (2008), "Psikologi Pendidikan", Bandung, Bumi Aksara.
Muhammad Syafi.(2009). "Melihat Tingkah Anak: Suatu Pendekatan dalam Pendidikan). Semarang: PT. Makmur Jaya.
M. Ngalim Purwanto, (2004), "Psikologi Pendidikan",  Jakarta, Rosda.
Nana Sudjana, (2004) "Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar", Jakarta, Rosda.
Sudarwan Denim, (2007), "Perkembangan Peserta Didik", Bandung, Alfabeta.
Syamsu Yusuf , Dkk, (2003), "Perkembangan Peserta Didik", Jakarta, Rajawali Pers.
Sunarto, Hartono Agung. (2008) ".Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta..
Uyu Wahyudin, (2011), " Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini ", Yogyakarta, Refika Aditama.



[1] Desmita, M.Si. (2005) "Psikologi Perkembangan Peserta Didik", Hal ; 06
[2] Ibid, Hal : 15
[3] Djaali, (2008), "Psikologi Pendidikan", Hal 24
[4] Muhammad Syafi.(2009). "Melihat Tingkah Anak: Suatu Pendekatan dalam Pendidikan", Hal : 9
[5] Ibid, Hal : 54
[6] M. Ngalim Purwanto, (2004), "Psikologi Pendidikan", Hal : 201
[7] Desmita, M.Si. (2005) "Psikologi Perkembangan Peserta Didik", Hal : 65
[8] Sunarto, Hartono Agung. (2008) ".Perkembangan Peserta Didik", Hal : 76
[9] Ibid, Hal : 121
[10] Uyu Wahyudin, (2011), " Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini ", Hal : 79
[11] Syamsu Yusuf , Dkk, (2003), "Perkembangan Peserta Didik", Hal : 38
[12] Nana Sudjana, (2004) "Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar", Hal : 135
[13] Ibid, Hal : 89
[14] Djaali, (2008), "Psikologi Pendidikan", Hal : 76
[15] Uyu Wahyudin, (2011), " Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini ", Hal : 83
[16] Ibid, Hal : 84
[17] Sudarwan Denim, (2007), "Perkembangan Peserta Didik", Hal : 65
[18] Nana Sudjana, (2004) "Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar", Hal 47
[19] Muhammad Syafi.(2009). "Melihat Tingkah Anak: Suatu Pendekatan dalam Pendidikan", Hal : 70
[20] Ibid, Hal : 71
[21] Uyu Wahyudin, (2011), " Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini ", Hal 132
[22] M. Ngalim Purwanto, (2004), "Psikologi Pendidikan", Hal : 35
[23] Muhammad Syafi.(2009). "Melihat Tingkah Anak: Suatu Pendekatan dalam Pendidikan", Hal : 67
[24] Uyu Wahyudin, (2011), " Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini ", Hal : 53
[25] Ibid, Hal : 54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar