SEJARAH PERKEMBANGAN KAPITALISME
SEJARAH PERKEMBANGAN
KAPITALISME
A.
PENDAHULUAN
Kapitalisme sebenarnya bukanlah hal yang baru
untuk untuk di perbincangkan, tetapi melihat pengaruhnya yang masih begitu kuat
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dunia umumnya dan Indonesia
khususnya membuat kapitalisme tak pernah berhenti untuk diperbincangkan.
Oleh karena itu tiada salah bila kita sekali lagi mengenal sedikit tentang
kapitalisme dan sejarah perkembangannya. Kapitalisme jika dilihat dari segi
etimologi yaitu berasal dari dua kata “Capital (modal) dan Isme (paham atau
cara pandang). Namun jika kita telusuri makna dari kapitalisme sendiri yait
berasal dari bahasa latin caput yang
berarti “kepala”. Arti ini menjadi jelas, misalnya dalam istilah “pendapatan
per kapita” atau pendapatan per kepala. Apa hubungannya dengan “capital” yang
lain yang sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon kekayaan penduduk
Romawi kuno diukur oleh berapa kepala hewan ternak yang ia miliki.[3]
Semakin banyak caput-nya, semakin sejahtera. Tidak mengherankan, jika kemudian
mereka “mengumpulkan” sebanyak-banyaknya caput. Sekarang jelas sudah, mengapa
kita menterjemahkan capital sebagai “modal”. Sementara” Isme” sendiri mengacu
kepada paham, “ideologi” cara pandang atau cara hidup yang diterima oleh
sekelompok luas masyarakat dan karenanya menjadi konvensi, karea dapat saja
ditolak oleh kelompok masyarakat yang lainnya, sehingga kapitalisme adalah modal
–isme atau paham yang berdasarkan modal (pemilik modal).
Kapitalisme merupakan sistem perekonomian
yang menekankan peran Capital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Beberapa ahli
mendefinisikan kapitalisme sepertihalnya Ebenstein, menyebut kapitalisme
sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian.
Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme.
Sedangkan Hayek, memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam
ekonomi. Menurut Ayn Rand, kapitalisme adalah “a social system based on the recognition of individual rights,
including property rights, in which all property is privately owned”.
(Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu,
termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat). Heilbroner, secara
dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat
tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud
mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses
kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat.
Istilah “formasi sosial” yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai
oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation
Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat
formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).
Keadaan kemudian berubah ketika gelombang
industrialisasi melanda negara-negara Eropa Barat. Di dalam masyarakat
tradisional tersebut terjadi perubahan, dimana sistem ekonomi bersekala kecil
mulai diguncang oleh adanya industrialisasi sebagai sistem ekonomi bersekala
besar. Sebenarnya industrialisasi itu muncul karena pengaruh zaman Renaissance
yang melanda Eropa pada abad ke-15 hingga abad 19, yaitu pada masa perkembangan
perbankkan komersial di eropa ada zaman dahulu.[4]
Dimana sekelompok individu maupun kelompok luas dapat bertindak sebagai badan
tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan
perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah
dan manusia guna proses perubahan dari barang modal menjadi barang jadi. Untuk
mendapatkan modal-moda tersebut maka para kapitalis tersebut harus mendapatkan
bahan baku dan mesin terlebih dahulu. Baru setelah itu buruh menjadi operator
atau tenaga produktif agar para kapitalis bisa mendapatkan nilai lebih dari
bahan baku tersebut.
B.
SEJARAH
PERKEMBANGAN KAPITALISME
1.
Kapitalisme
Awal
Ø Merkantilisme
Kapitalisme
mempunyai sejarah panjang yang mana sejak ditemukannya sistem perniagaan yang
dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild
sebagai cikal bakal kapitalisme. Kapitalisme merupakan cara pandang dalam
menjalani kegiatan ekonominya. Hal tersebut bisa dilihat pada Merkantilisme
berkembang pada abat ke-15 sampai abad 18, dan berasal dari kata merchand yang artinya pedagang. Walaupun para ahli masih
meragukan apakah merkantilisme benar merupan suatu aliran/madzhab atau bukan,
namun aliran ini memiliki dampak yang besar dalam perkembangan teori ekonomi. Aliran
ini timbul pada masa ketika perdagangan antar negara semakin berkembang pesat.
Kalau di masa sebelumnya masyarakat dapat mencukupi kebutuhannya dengan dengan
memproduksi sendiri, pada masa merkantilisme ini berkembang paham bahwa jika
sebuah negara hendak maju, maka negara tersebut harus melakukan perdagangan
dengan negara lain, surplus perdagangan berupa emas dan perak yang diterima
merupakan sumber kekayaan negara.[5]
Dalam bukunya yang
berjudul “England Treasure by Foreign
Trade” Thomas Mun menulis tentang
manfaat perdagangan luar negeri. Ia menjelaskan bahwaperdagangan luar negeri
akan memperkaya negara jika menghasilkan surplus dalam bentuk emas dan perak.
Keseimbangan perdagangan hanyalah perbedaan antara apa yang di ekspor dan apa
yang di impor. Ketika negara mengalami surplus perdagangan, ini berarti ekspor
lebih besar daripada impor. Lebih lanjut Thomas Mun menjelaskan bahwa
perdagangan domestik tidak dapat membuat negara lebih makmur, karena perolehan
logam mulia dari seorang warga negara adalah sama dengan hilangnya logam mulia
dari warga negara yang lain. Dengan meningkatkan persedian uang domestik
sebagai hasil dari surplus perdagangan ternyata dapat juga memunculkan bahaya
karena orang akan terpancing untuk membeli lebih banyak barang-barang mewah.
Hal ini menyebabkan harga barang dalam negeri akan naik dan pada akhirnya akan
mengurangi ekspor karena barang-barang yang diproduksi di dalam negeri
akan terlalu mahal bila dijual di luar negeri. Konsekuensi ini bisa dihindari
yaitu dengan melakukan investasi kembali. Reinvestasi ini akan menciptakan
lebih banyak barang untuk diekspor. Thomas Mun mengakui bahwa betapa pentingnya
investasi modal dan Ia memandang keseimbangan perdagangan merupakan sebuah cara
untuk mengumpulkan modal produktif.
Ajaran
merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-15 sampai ke-18, era dimana
kesadaran bernegara sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama
kalinya, intervensi suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya
pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai lahir. Kebutuhan akan pasar yang diajarkan oleh teori
merkantilisme akhirnya mendorong terjadinya banyak peperangan dikalangan negara
Eropa dan era imperialisme Eropa akhirnya dimulai. Sistem ekonomi merkantilisme
mulai menghilang pada akhir abad ke-18, seiring dengan munculnya teori ekonomi
baru yang diajukan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth
of Nations, ketika sistem ekonomi baru diadopsi
oleh Inggris, yang notabene saat itu adalah negara industri terbesar di dunia.[6]
Ø Kolonialisme
Merkantilis merupakan model
kebijakan ekonomi dengan campur tangan pemerintah yang dominan, proteksionisme
serta politik kolonial, ditujukan dengan neraca perdagangan luar negeri yang
menguntungkan. Kebijakan ekonomi lebih bersifat makro, hal ini berhubungan
dengan tujuan proteksi industri di dalam negeri, dan menjaga rencana
perdagangan yang menguntungkan, hal ini dilakukan dalam usaha meningkatkan
peranannya dalam perdagangan internasional dan perluasan-perluasan kolonialisme,
yang mana Kolonialisme sendiri merupakan suatu sistem dimana suatu negara
menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan
dengan negeri asal dan tujuannya untuk menguras sumber-sumber kekayaan daerah
koloni demi perkembangan industri dan memenuhi kekayaan negara yang
melaksanakan politik kolonial tersebut. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi
modal yang terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia,
yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.[7]
Kelahiran kapitalisme dimasa
merkantilisme dan kolonialisme dibidani oleh tiga tokoh besar, yaitu Martin
Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin yang memberi
dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya.
Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang Jerman yang
melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan tulisan
protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima kenyataan praktik
pengampunan dosa yang diberlakukan Gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran
dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya
dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat
menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin
yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras
mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan
“Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan
tarcantum dalam buku An Inquiry into The
Nature and Causes of The Wealth Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan
spirit kapitalismenya dalam sebuah konsep sebagai mekanisme pasar. Basis
folologisnya adalah laissez-faire, laissez-passer. Ia mengatakan bahwa
barang langka akan menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal sehingga
menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan rendah.
Tetapi menurut Smith bahwa yang harus dilihat adalah perilaku produsen. Ketika
harga barang mahal, maka keuntungan akan meningkat. Ketika keuntungan yang
dijanjikan atas barang tersebut tinggi, maka banyak produsen yang
memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan barang tersebut akan
terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Sehingga
masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible hands.
2. Kapitalisme Klasik
Ø Revolusi Industri
Pada fase ini terjadi pergeseran
perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan publik, ke wilayah yang
mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Pada masa Revolusi Industri
yaitu merupakan perubahan radiakal struktur masyarakat agraris ke industri
serta perubahan penggunaan sarana produksi dari tenaga manusia ke tenaga mesin.
Transformasi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri yang
seperti itu merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara
menentukan pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil memindahkan
industri dari pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama di perkotaan selama
Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang terus menerus membengkak selama dua
atau tiga abad mulai menunjukkan hasil yang baik pada abad 18. Penerapan
praktis dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad dapat
sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi penggerak bagi
perubahan teknologi karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini kapitalisme
mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire,
laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa
perkembangan kapitalisme pada fase kedua ini semata-mata menggunakan
argumentasi ekonomis. Perkembangan ini tentu saja menjadi parameter
keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur sosial masyarakat. Kesuksesan
ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik, yaitu hubungan antara
kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan kapitalisme terutama dalam
penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah kekuasaan sebagai
lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik erat kaitannya dengan
karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations
(1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa kapitalisme kuno sudah
berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
3. Kapitalisme Lanjut
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai
berkembang sejak abad 19, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum
utama. Abad 20 ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi
bisa disebut sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai
peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama,
pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran
bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari
kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan
perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakkan
institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan kapital secara individu
atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan
kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme abad 20 berhasil tampil
meliuk-liuk dengan performance yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan
umat manusia pada zaman dan situasi lingkungannya.[8]
Fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of Ideology) yang mengantarkan
umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi melainkan
juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat manusia. Produk
lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut adalah sedemikian menjamurnya
korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak lagi bergerak di bidang
industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia berusaha mendominasi
dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi menghadapi ekonomi global.
Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational
Corporation/Trans National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas
bahwa pelaku aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara,
melainkan para pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa
melakukan kegiatan ekonomi apa dan di mana saja.
Dengan semakin pentingnya modal,
peranan Negara menjadi tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya
sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement Actor) saja dalam percaturan
ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran Negara tetap dibutuhkan sebagai
fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah
yang dinubuat Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan
kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini tetap membutuhkan keterlibatan
Negara untuk memfasilitasi setiap produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis
mutualisme ini selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme lanjut.
Peristiwa ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut adalah
kapitalisme monopoli atau kapitalisme kroni (crony capitalism).[9]
Sementara menurut pandangan Clauss
Offe dalam Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi, politik selalu menampilkan sifat negatif yang khas.
Politik diarahkan untuk mengatasi disfungsionalitas dan menghindari
resiko-resiko yang membahayakan sistem. Politik tidak diupayakan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada pemecahan masalah-masalah teknis.
Kegiatan Negara dibatasi hanya pada persoalan-persoalan teknis yang bisa
dipecahkan secara administratif sehingga dimensi praksisnya hilang.[10] Hubungan
faktor politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang
Keynes, dan persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada
keseluruhan adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia
memandang teori ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan
apa yang disebut metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani
tujuan dan target mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi
persoalan politik dengan cara yang berbeda.
Akumulasi modal sekarang tidak
sekedar menjadi kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini,
tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka, para kelompok mayoritas
seperti buruh, petani dan perempuan. Kita menyadari bahwa kapitalisme model
baru menyimpan keniscayaan atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga
konspirasi ala O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam menjelaskan
mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris konspirasi itu dapat
dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara terbentuk atas pengaruh
kepentingan TNC. Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World Bank/IMF, dan WTO
berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni
liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan
terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan
internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya. Kita memang bisa
menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu. Jika
hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan oleh kelompok Marx
dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini kita juga menyaksikan
bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang
tertuang dalam kata-kata msayarakat tanpa kelas, justru secara mengejutkan,
bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam masyarakat
kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang mencoba mengagregasikan
kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara, justru pada akhirnya
mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam
kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan mengupayakan
reinventing government, bukan barang mustahil apabila masyarakat tanpa kelas
adalah milik kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata
gagal dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir
sejarah itu, threshold capitalism.
Ø Developmentalisme
Globalisasi kegiatan ekonomi dan
persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia II,
khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa munculnya
perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan internasional.
Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton Woods ditinggalkan
pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat berharga internasional
dan pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan cepat, seiring dengan
meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah rumit hubungan ekonomi
internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang
terintegrasi dan saling tergantung.
Pada fase pasca PD II, strategi
ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah strategi
Developmentalisme yang arinya paham akan pembangunan[11],
untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan
dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal
dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang
dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai
regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini
adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan
investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an) dekolonialisasi ditawarkan pada
sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia, Afrika
dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.[12]
Akhirnya, globalisasi adalah bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru
terhadap pasar, kompetisi dan profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok
sosialis, globalisasi menjadi bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas,
revolusi informasi, dunia sebagai satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah
juga merupakan legitimasi baru kapitalisme setelah runtuhnya komunisme,
seolah-olah sejarah berhenti dan waktunya habis. Revolusi informasi merupakan
dalih baru untuk menyatukan dunia atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia
sebagai satu desa dan hukum pasar.[13]
Ø Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses yang
menempatkan masyarakat dalam saling keterhubungan dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, dan budaya. Paham yang demikian itu disebut globalisasi atau
neo-liberalisme. Beberapa faktor pendorong globalisasi yaitu: Pertama, kekuatan
kaum kapitalis internasional, yaitu Negara-negara imperialis pusat, Negara
menjadi motor penggerak globalisasi karena ia memiliki kekuasaan dalam mengatur
formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya ekonomi pada aktor-aktor
global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir di seluruh dunia, dan
merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri dikemudian hari yang
pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini begitu kuatnya seolah-olah
MNC telah menjadi parasit yang memakan induk semangnya dan menjadi lebih kuat
dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh Bretton Woods Institution,
yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO
kemudian diaplikasikan pada tiga sistem yaitu liberalisasi perdagangan,
keuangan, investasi. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
khususnya di bidang telekomunikasi. Ketiga, dukungan pemerintah Negara-negara
sedang berkembang (NSB) terhadap ekspansi kaum kapitalis internasional di
Negara mereka.
Dampak perkembangan konstelasi
politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi yang telah masuk ke
segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari perkembangan
ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata perkembangan ilmu
pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara Negara kaya dan
miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan internasional, dan masalah
perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.[14]
Jelaslah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai
jurusan-jurusan pertumbuhannya serta pilihan-pilihan masalahnya seperti juga
tekhnologi, tidak berdiri sendiri, merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap
dengan tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta sistem nilainya. Oleh
karena itu pilihan tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan mengenai implikasi sosialnya.
Dalam hal ini ilmu pengetahuan dalam
bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan krisis di masyarakat
kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang masyarakat
kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara,
globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah
ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem
sosial. Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni
perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank
Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO,
Organisasi Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang
dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada dasarnya tidak
ada bedanya dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa
‘pasar bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya
alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa
menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga
murah, berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai
langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu,
harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa
neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi.
“Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka. Keputusan
individual atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible
hand (tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari
ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh segelintir
orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah) kepada
anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu
difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki. Krisis berkepanjangan
yang menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an
berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih memperbesar
pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi dalam
perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi kapital
menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat
pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan
segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan
hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan
subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society,
program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan
perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan
demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham
liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neo-liberalisme. Neo-liberalisme
sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaan
swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan
inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan “parasit”
pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun dikembangkan. Aturan dasar
kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan dan keuangan”, “Biarkan
pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi ekonomi-makro, dan
privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan”. Paham
inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus” yang dipaksakan
yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu tata dunia.
Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para
pembela ekonomi swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang
mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk
mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok pendirian neo-liberal
meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah,
misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi,
harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri untuk tumbuh dengan
menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan subsidi Negara kepada rakyat
karena bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Negara harus
melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara, karena perusahaan Negara dibuat
untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat. Ini juga menghambat persaingan
bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal
seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional” karena
menghalangi pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya,
bukan kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi masyarakat adaptif) yang
tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif.
“Aku rela bekerja keras, bahkan aku
rela sampai mati,
tapi tidak untuk orang-orang yang
serakah”
~The new rullers of the world~
[1] Materi ini disampaikan dalam Prakondisi PETA
II SMI Cab. Semarang Pada tanggal 15 Pebruari 2014 di Semarang
[2] Pemateri Prakondisi PETA II SMI Cab.
Semarang Pada tanggal 15 Pebruari 2014 di Semarang
[3] Definisi
secara sederhana, corak produksi adalah cara masyarakat manusia, pada umumnya,
dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan di suatu tempat dan pada suatu
waktu. Misalnya, cara memenuhi kebutuhan makan dan pakaian pada masyarakat kuno
berbeda dengan masyarakat sekarang ini. Dalam kata lain, corak produksi adalah
cara masyarakat manusia memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan sosial
yang dibuatnya.
[4] Samekto Adji, Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan, Genta Press,
Yogyakarta, 2008
[5]
Lihat teori Merkantilisme, Thomas Mun
[7] Galery Artikel, Kolonialisme, Imperialisme, Merkantilisme, Kapitalisme, Dan Revolusi Industri, http://networkedblogs.com/wju1l (online)
[8] Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang Kapitalisme fase lanjut
atau kapitalisme mutakhir seperti yang diratapi oleh Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin
ini sepenuhnya mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini periksa karya
Bell seperti (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The
Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973;
(3) The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books,
1976. Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di
Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol
(ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi,
Jakarta: LP3ES, 1988.
[9] Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari kapitalisme fase lanjut seringkali
diberi pengertian yang merujuk pada peran penting dari kolaborasi di tingkat
birokrat Negara dan pengusaha kapitalis untuk menguasai lahan produksi yang
ditujukan pada kepentingan-kepentingan publik.
[11] Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi pembangunanisme.
Developmen-talisme adalah sebuah istilah ekonomi-politik. Sebuah konsep atau
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dicetuskan pada masa
Presiden Harry S Truman pada tahun 1949 untuk menjawab berbagai permasalahan
kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment) yang terjadi di
Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi untuk membendung
sosialisme.
[12] Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia ketiga dan terjadi proses
eksploitasi kapitalisme dari yang bersifat kolonilistik kepada fase yang
bersifat lunak
[13] Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban
Global: Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar
Peradaban, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar