Fasisme
Paham fasisme mencuat
ketika dimulainya masa Perang Dunia II. Setidaknya perang yang muncul
saat itu, terjadi sebagai akibat perkembangan ideology fasis di Italia,
Jerman dan Jepang, yang ingin meluaskan pengaruh ekstra-nasionalisnya.
Sehabis berlangsungnya Perang Dunia II, ideologi fasisme seakan-akan
berakhir, tetapi hal yang terjadi tidak nyata demikian. Sebagai sebuah
produk pemikiran, benih-benih fasisme akan terus ada selama terdapat
kondisi obyektif yang membentuknya.
Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”.
Fasisme muncul dengan pengorganisasian pemerintahan dan masyarakat
secara totaliter, kediktatoran partai tunggal yang bersifat:
ultra-nasionalis, rasis, militeris dan imperialis. Fasisme juga muncul
pada masyarakat pasca-demokrasi dan pasca-industri. Jadi, fasisme hanya
muncul di negara yang memiliki pengalaman demokrasi. Hal- hal yang
penting dalam penbentukan suatu karakter negara fasis adalah militer,
birokrasi, prestise individu sang diktator dan terpenting, dukungan
massa. Semakin keras pola kepemimpinan suatu negara fasis, semakin besar
pula dukungan yang didapatnya.
Latar Belakang Fasisme
Kondisi penting lainnya
dalam pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi.
Munculnya negara industri, memunculkan ketegangan sosial dan ekonomi.
Jika liberalisme adalah penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang
mengakomodasi kepentingan yang ada, maka fasisme mengingkari perbedaan
kepentingan secara paksaan. Fasisme mendapat dukungan pembiayaan dari
industriawan dan tuan tanah, karena kedua kelompok ini mengharapkan
lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang dianggapnya menghambat
kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan lain bagi rezim
fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka melihat
fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada
sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari
kaum militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai
jalan menuju militerisasi rakyat.
Meskipun fasisme bukan
merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori
marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka
pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis
menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi,
maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan
menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa
dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan
dari rakyat lapisan bawah.
Dengan demikian,
fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan
secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi,
kemarahan dan perasaan tak aman. Tak aneh, jika dalam sejarahnya rezim
fasis senantiasa mendapatkan dukungan masyarakat. Terutama hal ini jelas
terjadi di Jerman.
Akar-akar Psikologis Totaliterisme
Petunjuk ke arah
pemahaman fasisme terletak pada kekuatan dan tradisi masyarakatnya. Di
Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal
yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal
yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme
hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik,
ditandai dengan munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan
dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi.
Namun demikian antara
sang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat. Ada
kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran
dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin
adalah tipekal negara demikian. Adanya gerakan massa yang otoriter
dalam fasisme justru ditentukan oleh hasrat banyak orang untuk
memasrahkan diri dengan setia. Hal ini tentunya tidak dapat diamati dari
sudut pandang rasionalitas. Fasisme ibarat memanfaatkan kondisi
psikologis kepatuhan sang anak kepada orang-tuanya. Dengan kepatuhan,
maka sang anak akan terlindungi karena memiliki tempat bergantung.
Fasisme juga memiliki
ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada.
Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok,
kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam
membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya
patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya.
Sebagai cara
mempertahankan kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata
maupun imajiner. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras
rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum
komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau
indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk tidak sekedar
berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat imperialisnya. Mereka
akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan bangsa lain. Kaum
fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa
atau negara manapun. Nahasnya, apabila fasisme kalah, maka sang
pemimpin fasis akan menjadi korban kehancuran rezimnya sendiri. Sejarah
mencatat nasib tragis yang dialami Mussolini yang ditembak dan digantung
oleh rakyatnya sendiri, setelah sebelumnya Italia mengumumkan
kekalahannya dalam perang. Nasib Hitler mungkin sedikit lebih baik,
karena ia “mati terhormat” tanpa harus tunduk kepada musuhnya.
Teori dan Praktek Fasisme
Doktrin dan Kebijaksanaan
Tidak seperti
komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau
mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa
fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis
yang bersifat universal.
Namun demikian, bukan
berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme
meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism.
Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis
didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein,
unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama,
ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang
bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan
tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam
rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua,
pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama,
justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi
fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai
melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang
lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak
konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang
berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang
mengedepankan kekuatan.
Ketiga,
kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam
pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah
“oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka
adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka
mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang
akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin
pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak
pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai
obyektif kebenarannya.
Keempat,
pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan
harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh
anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku
adalah keinginan si-elit.
Kelima,
totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam
meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang
dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K
yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi
anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat
ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan
dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam,
Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara
kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat
memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka
mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah
atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara
rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang
lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan
semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh,
fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional.
Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara
yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak
adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang
sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata
lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.
Ekonomi Fasis
Ekonomi fasis menurut
Ebenstein memiliki ciri negara korporasi. Dalam pemahaman ini, negara
berkuasa untuk menata dan mengawasi system perekonomian. Negara fasis
mengatur asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja diawasi
dan asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi
sebagai kelompok penengah.
Ada dua asumsi yang
mendasari filsafat negara korporasi. Pertama,masyarakat biasa tidak
boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak
menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, para elitlah yang dianggap
memiliki kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat.
Karena itu hanya mereka yang berhak memerintah.
Demokrasi dengan tegas
menolak hal ini. Demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi dan politik
adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu sangat tidak mungkin
para penguasa menggantikan “perasaan’ masyarakat yang dikuasai, terlebih
lagi adanya prinsip kelas unggul di dalam masyarakat.
Bagi kaum fasis
sendiri, Italia misalnya, negara korporasi bukanlah suatu respons atas
kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi
kreatif dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian,
bagaimanapun fasisme yang totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan
bebas. Negara harus menunjukkan kuasanya diatas kepentingan atau unsur
apapun.
Pada
akhirnya, negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia
mulai dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, maka
kepercayaan terhadap Il Duce juga memudar. Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri.
Kasus “Fasisme” di Spanyol
Dalam
melengkapi bahasannya, Ebenstein juga menceritakan mengenai keberadaan
gerakan fasisme di Spanyol, di bawah pimpinan jendral Franco. Ebenstein
mencatat bahwa ideology fasisme di Spanyol bertindak lebih moderat,
karena pada awalnya ia hanya merupakan bentuk perkembangan kepentingan
nasionalisme. Jendral Franco sendiri juga pada awalnya bukanlah seorang
fasis, melainkan hanya militer biasa. Ia justru memanfaatkan kelompok
Phalangis dalam menjalankan kekuasaannya. Berbeda dengan Fasisme Jerman
dan Itali, dimana partailah yang memanfaatkan militer.
Bertahannya gerakan
“fasis” franco lebih disebabkan karakter Spanyol yang agak berbeda
dengan fasisme di Jerman maupun Italia. Di Spanyol, franco menjadi
penguasa karena kemenangannya dalam perang saudara melawan kelompok
republik. Ia juga mendapatkan dukungan kaum gerejawan, yang dipinggirkan
dalam pemerintahan republik. Lebih penting, franco berkuasa atas negara
yang baru mengembangkan industri dan baru bangkit sehabis perang,
sehingga ketika Perang Dunia II terjadi, ia memilih untuk tidak
melibatkan diri dalam persekutuan fasisme Italia-Jerman dan Jepang.
Ketidak ikutsertaannyalah yang membuat rezim Franco mampu bertahan.
Bahkan hingga kematiannya, ia masih di elukan oleh rakyatnya.
Namun demikian, pada
akhirnya fasisme di Spanyol justru tumbang secara konstitusional dengan
tahap kompromi yang lebih lunak. Dalam hal ini kelompok monarki Raja
Juan Carlos memainkan hal yang penting, dan ternyata rakyat Spanyol juga
tidak terlampau bereaksi karena perubahan yang ada. Lambat laun,
Spanyol memasuki system liberalisme dan menjadi bagian masyarakat eropa.
Tanggapan terhadap bacaan
Tulisan ebenstein
mengenai fasisme, mencoba mendudukkan ideology fasisme dalam tataran
substansial. Ia melihat gejala fasisme sebagai suatu kondisi pada sebuah
masyarakat, dan mungkin saja dapat terulang kembali. Tulisan ebenstein
juga dikayakan dengan contoh kontemporer, yaitu kasus Spanyol.
Namun demikian,
terdapat juga hal yang dirasakan kurang mengenai hal bagaimana fasisme
mampu mempertahankan dukungan massa. Ebenstein hanya melihat adanya
kekerasan sebagai suatu faktor pendukung, seakan melupakan faktor yang
lainnya. Padahal, terdapat mekanisme penting yang dilupakan Ebenstein
yaitu bagaimana kaum fasis menciptakan slogan atau ritus-ritus historis
demi membangun karakter nasionalisme mereka. Bagaimanapun juga, jika
kita mengamati munculnya negara fasis terdapat kecenderungan bahwa
fasisme muncul pada negara yang memiliki identitas historis yang kuat.
Tentu bukan suatu
kebetulan, selain menggunakan kekerasan, fasisme juga memanfaatkan
parade atau aksi massa untuk memperkuat nasionalisme pendukungnya.
Ketika Hitler atau Mussolini menciptakan gaya sapaan atau slogan dalam
ritusnya, hal ini harus dilihat sebagai cara untuk menciptakan pola
hubungan kharismatik (meminjam istilah Max Weber) antara penguasa dengan
rakyatnya. Sehingga dalam konteks inilah hubungan patronase yang
dikatakan ebenstein, dapat dilihat secara aktif. Secara psikologis,
melihat manusia berduyun-duyun berkumpul memberi dukungan, maka akan
menimbulkan nuansa sakralitas dan mitologis mengenai kemampuan komunal
yang tak terkalahkan. Hitler lebih kuat fasismenya bukan hanya karena ia
lebih kejam, melainkan juga karena ia mampu memanipulasi dengan cerdas
symbol-symbol yang ada dalam masyarakat.
Faktor sejarah, juga merupakan kekuatan tersendiri. Hitler selalu mendengungkan “Third Reich”, Mussolini senantiasa mengatakan “Italia la Prima”, sedangkan Jepang senantiasa menunjukkan propaganda sebagai “Pemimpin Asia”.
Ketika Hitler dan Mussolini menjabat sebagai kepala pemerintahan, maka
keduanya juga membangun bangunan-bangunan megah sebagai symbol kejayaan
suatu kekaisaran masa lampau. Bahkan Mussolini memperbaharui beberapa
monumen Romawinya. Dengan kenangan masa lalulah, fasisme bergerak untuk
menciptakan kejayaan di masa sekarang. Karena bagi mereka, hanya negara
yang pernah unggul berhak atas sejarah dimasa sekarang. Dan inilah yang
juga diandalkan oleh Hitler maupun Mussolini, dimana mereka mampu
meyakinkan rakyatnya atas dasar keyakinan sejarah yang demikian.
Dalam konteks hubungan
masa sekarang, ternyata ebenstein belum sampai pada kesimpulan penutup
apakah masa depan fasisme masih ada. Pada titik inilah, terkadang muncul
kealpaan kita dalam melihat keberadaan fasisme. Padahal fasisme yang
rasis, sebagai suatu gagasan dan tindakan juga berada di mana-mana.
Apakah benar yang ditunjukkan Paul Wilkinson (dan juga Harun Yahya),
bahwa kekuatan kaum fasis sedang merasuki anak-anak generasi muda lewat
gelombang musik punk dan skin head, dimana symbol nazisme senantiasa
menjadi ikonnya. Atau apakah benar kelompok fasis sedang berupaya
membangkitkan jati-dirinya kembali dengan hooliganisme di kancah sepak
bola? Saya kira hal ini masih merupakan asumsi-asumsi yang harus
dibuktikan oleh sejarah perihal kebenarannya.
Referensi
Ebenstein, William dan Edwin Fogelman. Isme-Isme Dewasa Ini, penerjemah: Alex Jemadu, Jakarta: Erlangga, 1990.
Hobsbawm, Eric. Age of Extremes, London: Abacus, 1994.
Wilkinson, Paul. New Fascist, Yogyakarta: Resist Book, 1995.