Sabtu, 20 Desember 2014

Feodalisme Indonesia

Feodalisme ; Jurus Ampuh Kolonialisasi Hindia Belanda

resident-w-de-vogel-en-soesoehoenan-pakoe-boewono-x-van-soerakarta-1897Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fe•o•dal /féodal/ a 1 berhubungan dng susunan masyarakat yg dikuasai oleh kaum bangsawan; 2 mengenai kaum bangsawan (tt sikap, cara hidup, dsb); 3 mengenai cara pemilikan tanah pd abad pertengahan di Eropa. fe•o•da•lis•tis /féodalistis/ a bersifat feodal, sementara fe•o•dal•is•me /féodalisme/ n 1 sistem sosial atau politik yg memberikan kekuasaan yg besar kpd golongan bangsawan; 2 sistem sosial yg mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3 sistem sosial di Eropa pd Abad Pertengahan yg ditandai oleh kekuasaan yg besar di tangan tuan tanah.
Dalam id.wikipedia.org, Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hirarkis berbentuk piramida.
Feodalisme, kata sejarawan Nyoman Wijaya, berasal dari bahasa Latin feudum yang artinya tanah yang dimiliki oleh kesatria sebagai imbalan atas jasa-jasanya membela penguasa atau raja selama empat puluh hari atau lebih. Sistem hadiah ini dimulai abad ke-9 di Eropa, yang diawali dengan runtuhnya Kekaisaran Carolingian.
Sejak itu muncul orang-orang kuat sebagai tuan tanah yang mengatur pemakaian tanah di wilayah kekuasaannya. Tempat tinggal mereka yang disebut kastil atau puri. Kekuasaan mereka ditopang oleh para bawahannya. Sistem ini kemudian berkembang luas. Bangsawan menjadi kelompok yang sangat istimewa dan melakukan regenerasi berdasarkan keturunan.
Sesuai dengan penelurusan ensiklopedia feodal atau feudal, merupakan satu istilah yang digunakan pada awal era modern yakni abad ke-17 merujuk pada pengalaman sistem politik di Eropa abad pertengahan. Sistem politik yang terbangun pada masa itu ditentukan oleh perpaduan antara para militer legal maupun tidak atau para warlord, tuan tanah, bangsawan, raja, yang lantas tersusunlah hirarki dalam masyarakat yang khas: ada raja, ada bangsawan, tetapi juga ada pelayan dan budak (vassal). Kata kuncinya tetap hirarki.
Setelah sampai di Indonesia, kata Wijaya, para ahli bahasa sepakat mengatakan feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Namun, tidak secara otomatis daerah yang berada di bawah kepemimpinan bangsawan akan bersifat feodalistis.
Feodalisme, dalam perkembangan pengertianya, meluas menjadi suatu sistem peternalistik kebangsawanan. Ada wong gede, para bangsawan, priyayi-ambtenaar, ada wong cilik alias rakyat jelata. Dalam struktur feudal karaton, pada abdi dalem mempasrahkan hidupnya untuk mengabdi para bangsawan, raja, serta kerabat keraton. Dalam logika kaum feudal, berlaku rumus sopo siro, sopo ingsun. Siapa Anda, kok berani-beraninya menghina bangsawan, kira-kira begitu maknanya. Atau, Anda ini kan cuma batur, pembantu, kok berani melawan tuan. Kalau Anda marah begitu sama pembantu Anda di rumah, berarti mentalitas feudal sudah menjangkiti Anda.
Pemerintahan Belanda pasca VOC sesudah abad 19 menerapkan sistem pemerintahan/birokrasi modern dengan mempertahankan asas-asas sistem kekuasaan dan sosok budaya ‘ Adi-Luhung “Jawa – Mataram. Pulau Jawa dan kemudian kepulauan Indonesia yang menjadi negara birokrasi, negara pangreh-praja yang hirarkis dan rumit, meskipun efesian istilah Umar Hayam “Beambten staat” atau Negara Pegawai. Pada zaman ini cita-cita anak muda terpelajar adalah menjadi priyayi gubermen yang berarti masuk kedalam sistem kekuasaan.
Orang feodal tidak melihat orang dari segi kapabilitas dan kompetensinya, tetapi dari segi asal-usul dan “derajat kebangsawananya”. Untuk ukuran manusia modern yang rasional, aneh bukan? Nah, pemimpin yang feudal, ialah yang bermental ndoro, tuan. Ndoro secara ekstrim berkebalikan dengan batur, babu, jongos. Mentalitas ndoro selalu ingin dilayani, dan tak melayani. Tentu saja ini bertentangan denan konsep kepemimpinan pelayan (servant leader) yang berorientasi memuaskan “pelanggan”.
Lawan dari mentalitas ndoro adalah mentalitas budak. Dulu pejuang kita Bung Sjahrir resah dengan bangsa kita yang dikatakannya masih bermental “budak” tepatnya bermental inlander alias mentalitas pribumi terjajah. Indonesia dijajah sekian lama, dan karena itu sisa-sisa mental bangsa terjajah, masih terasa. Tentu saja ini merupakan satu otokritik yang sangat serius. Kita tidak usah marah, tetapi harus mau instrospeksi, benar tidak kita masih suka bermental budak?
Warisan Sentralisme Hindia Belanda dalam bentuk negara birokrasi

Sistem sentralisme itu disangga oleh cara berfikir kolonialisme, feodalisme keraton Jawa, kapitalisme yang berkecambah dan ideologi bangsa besarisme. Sedangkan dasarnya adalah ekonomi feodal yang kuat dengan pemusatan tanah-tanah dan ekonomi agraria pada golongan minoritas kaya-raya dan kalangan berkuasa yang disebut “tani berdasi”, sistem hak milik kapitalis, dan kekuasaan oligarki yang berkembang. Proses pengukuhan ini melaju melalui politik massa mengambang selama berkuasa Rezim Militer Angkatan Darat di bawah Diktator Jenderal Besar Haji Muhammad Suharto, yang juga Bapak Pembangunan KKN.
Kedudukan luar Jawa di satu pihak menjadi rabuk penyubur P. Jawa, di pihak lain menjadi tergantung pada P. Jawa untuk dapat berkembang sebagai manusia secara tertatih dan untuk dapat mencapai sesuatu cita-cita pribadi atau individu yang santun. Ini berjalan di bawah himpitan sentralisme Hindia Belanda yang kemudian diteruskan oleh penguasa pusat RI. Hal ini mendapatkan wujudnya dalam pelbagai bidang. Mau terdidik sebagai cendekiawan moderen, orang luar Jawa harus berlayar dulu menyeberangi Selat Sunda atau Laut Jawa untuk dapat mendarat di bumi Jawa yang memiliki segala sarana lembaga pendidikan – politik, hukum, ekonomi, tehnik, kedokteran, pertanian, kimia, bahasa, kesenian, militer dan pelbagai bidang sosial lainnya. Belanda telah mewariskan untuk Jawa kota-kota yang berperanan di bidang-bidang tersebut – Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Malang, Semarang. Mereka yang datang ke sana tentu yang berkemampuan secara ekonomi.
Kolonial menciptakan semua itu demi kepentingannya dalam memenuhi kebutuhan pengadaan kaum priayi yang ditempatkan dalam jawatan pemerintahan Hindia Belanda. Apalagi P. Jawa pada pertengahan abad 19 (kecuali ada selingan Perang Diponegoro) sudah sepenuhnya dikuasai pemerintah kolonial. Sehingga ada syarat untuk mengadakan sarana-sarana bagi keperluan kekuasaannya. Di Jawa, mereka yang dari luar Jawa tentu dapat mempelajari pelbagai ilmu moderen yang dasarnya telah diletakkan oleh kolonial dan bersamaan itu sekaligus mengkonsumsi budaya feodal Jawa, baik yang beraroma kemenyan maupun yang tidak, namun tetap ada kesamaan dasar filsafatnya, yaitu “pantes ora pantes” dalam berprilaku menurut tilik kratonisme. Jadi bukan soal benar atau salah secara adab moral umum (universal). Maka KKN pun harus dilihat dengan kaca benggala “pantes ora pantes” atau “elok ora elok” yang menjadi tolak ukur moral feodalisme kraton.
Aristokrat
Suatu ciri yang paling menonjol pada akhir abad ke XIX ini adalah munculnya elit baru yang lahir dari rahim penjajah. Kaum ini disebut ‘priyayi baru’ , berfungsi sebagai kaki tangan Belanda yang menancapkan kuku kekuasaan di seluruh negeri. Tangan-tangan inilah yang berlumuran darah, melalui mereka kebijakan pemerintah Belanda lebih menyeramkan karena ditumpangi kepentingan ekonomi dan politik sendiri. Bersama elit tradisional, segolongan dari mereka menciptakan gerakan-gerakan anti Islam pada akhir abad dan pada perjalananya kemudian membentuk Budi Utomo .
Para penguasa dan elit birokrasi Jawa pribumi adalah orang-orang yang harus terombang ambing menyesuaikan orientasi mereka kepada nila-nilai “modern” dari “beambten -staat”, mereka sekaligus priyayi feodal dengan mentalisme feodal kerajan dan priyayi-priyayi baru yang mendapat pendidikan Barat. Dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan sehari-hari mereka akan menempatkan diri dalam posisi stratifikasi sosial, hirarki feodal dan sistem komunikasi hirarkis yang sama.
Catatan :
“Beambten staat” : Negara Birokrasi, Teori politik Mill dalam Consideration on Representative Goverment (1861) menyatakan bahwa bentuk Negara Birokrasi memiliki keterampilan dan kemampuan politik yang tinggi meskipun dijalankan secara monarki atau aristokrasi. Esensi birokrasi adalah Pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memrintah secara profesional .Mosca menulis bahwa ciri Negara Birokrasi adalah Penggunaan pekerja yang digaji dalam kepegawaian. (Umar Khayan : Neo-Feodalisme. Jurnal Ulumul-Qur’an N0. 4 VII/1997)
‘priyayi baru’ ini mendapatkan status mereka karena bakat pribadi bukan sebab keturunan seperti priyayi keturunan bangsawan. Secara resmi mereka dimasukan kedalam kelas priyayi dan diberi gelar serta benuk-bentuk kemegahan yang ada kaitanya dengan suatu status yang jelas di dalam masyarakat pribumi. Bersama priyayi tradisional mereka menjadi tulang punggung pemerintahan Belanda. Pada abad ke XX golongan ini mempunyai peranan penting dalam pergerakan Indonesia. (Ricklefs, op.cit.hal. 1991: 197).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar